SUARAMASJID| Peci hitam menjadi khas lelaki paruh baya ini, gaya bahasa yang lantang dalam menyuarakan kebenaran menjadi gaya Arek Suroboyoan. Dialah Usamah Hisyam, wartawan senior yang juga sebagai pegiat sosial keagamaan dengan bendera perjuangannya berpanji Parmusi (Persaudaraan Muslimin Indonesia).
Dalam pepatah Jawa, ‘Kacang ora ninggal lanjaran’ nampaknya tepat untuk sosok ketua umum Parmusi ini. Usamah dilahirkan dari keluarga pengusaha yang juga aktivis Islam, H. Hisyam Yahya dan Hj. Nurul Huda.
Ketika awal berdirinya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) tahun 70-an, ayahnya sebagai ketua di Surabaya. Bahkan kemudian menjadi Bendahara Parmusi Jawa Timur. “Salah satu donatur parmusi Jawa Timur, ayah kandung saya itu,” kata suami Daisyanti Astrilita Siregar ini.
Tak hanya itu, sang kakek H. Muhammad Yahya juga pernah menjadi pemimpin yayasan Masjid Mujahidin, Jl. Perak Barat No.275 Surabaya. Bahkan sekarang, kepemimpinan Yayasan Masjid Mujahidin Surabaya dipegang oleh paman Usamah, KH. Hasyim Yahya.
“Saya sejak kecil belajar ngaji di Masjid Mujahiddin itu. Jadi saya shalat Shubuh itu bukan dari sekarang. Umur empat tahun saya dipecut bapak saya untuk berangkat ke masjid. Shubuh itu wajib, sudah makanan tiap hari, tinggal nyebrang rumah,” kenang lelaki kelahiran Surabaya 14 Mei 1963.
Selain Masjid Mujahidin, masjid yang pembangunannya dipelopori oleh kakek Usamah adalah Masjid Al Falah Surabaya. “Trio kakek ana, Haji Mattaliti, Haji Abdul Karim, dan Haji Muhammad Yahya, itu yang membangun dua masjid itu,” terangnya.
Dalam pergaulan dengan politisi-politisi Nasional dari Masyumi, kakeknya adalah salah satu tokoh Masyumi Jatim. Karenanya tak heran jika tokoh-tokoh Masyumi Pusat seperti Natsir dan Kasman Singodimedjo berkunjung ke Jatim, mereka menginap di rumah kakeknya. “Kita ini keluarga Masyumi betul,” ungkap bapak lima anak ini.
Usamah menegaskan bahwa keluarganya adalah keluarga pejuang, bukan pecundang yang santer beredar. “Tidak ada sejarah keluarga ana pecundang. Kalau orang menyerang ana, itu jauh. Orang nggak paham siapa Usamah,” terangnya sambil membenarkan peci hitamnya.
Saat remaja, Usamah hijrah ke Jakarta melanjutkan sekolah di SMA 36 Rawamangun. Selama di SMA ia aktif di dunia jurnalistik. Bahkan ia sudah merintis dunia kewartawanan secara mandiri dengan menerbitkan majalah sekolah bernama Kreasi SMA 36 Rawamangun.
Lulus SMA, Usamah kian gandrung dengan dunia jurnalistik sehingga ia menentukan pilihan kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik (sekarang IISIP), Lenteng Agung, Jakarta. Sambil kuliah, ia menjadi penulis lepas dan wartawan freelance di sejumlah media. Ia pun mulai mandiri melalui tulisan.
Beberapa media yang pernah ia publikasi adalah Harian Minggu Sinar Harapan, Harian Pelita, Majalah Sportif, Majalah Remaja Mitra, dari hasil tulisan inilah Usamah dapat membiayai kuliah dan kehidupannya sendiri di Jakarta.
Selama beberapa tahun, ia sempat jauh dengan lingkungan masjid. Tetapi, pada akhirnya karena aktivitasnya sebagai wartawan pula yang membawa dirinya mengenal Ketua Umum PPP Buya Ismail Hasan Metareum dan kembali dunia pergerakan Islam.
Kebersamaan Usamah dalam mengibarkan panji-panji PPP melalui tabloid Media Persatuan yang dipimpinnya, membuatnya ia ditetapkan sebagai caleg DPR RI dari Dapil Jawa Timur, daerah asalnya, alhasil ia terpilih menjadi anggota MPR/DPR RI (1997-1999).
Kevokalannya sebagai anggota Komisi I DPR RI, membuat anak muda ini terpilih menjadi anggota Badan Pekerja MPR RI (1998-1999) yang mempersiapkan berbagai produk perundang-undangan reformasi. Salah satu regulasi yang diperjuangkan Usamah adalah UU Pers yang menjamin “kemerdekaan pers yang profesional”. Istilah tersebut juga merupakan buah pikiran Usamah yang kemudian masuk dalam konsideran UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Tahun 2001, ketika Megawati naik ke tampuk kekuasaan menjadi Presiden RI, dan Ketua Umum PPP Hamzah Haz menjadi Wakil Presiden RI, Usamah diangkat sebagai Asisten Pribadi Wakil Presiden RI. Sebagai Aspri, Usamah banyak memberikan masukan dan informasi dinamika sosial politik kepada Wakil Presiden.
Setelah malang melintang di dunia jurnalistik, dan pasca moneter banyak media yang gulung tikar, akhirnya ia memutuskan tetap merintis usaha sendiri menjadi entrepreneurs di bidang media.
Dari situ ia banting setir dari bisnis media dengan menjajaki merintis bisnis marketing komunikasi dengan bendera PT Dharmapena Multimedia. Jaringannya yang luas membuat ia mudah menjalin kerjasama. Bahkan ia pernah menjadi konsultan marketing politik di jaman SBY sebagai kandidat Presiden RI pada Pilpres 2004. Hingga terbitlah buku biografi “SBY Sang Demokrat” yang menjadi best seller.
Dalam perjalanannya, Usamah mengkonsolidasikan bisnis komunikasinya menjadi lebih luas, ada marketing komunikasi dan bisnis media. Divisi bisnis medianya dikembangkan dalam brand OMG (Obsession Media Group), yang menerbitkan sejumlah print magazine, yakni Men’s Obsession dan Women’s Obsession, serta media online, yakni Obsession News, Muslim Obsession.
Dakwah kepada Penguasa
Sejak tahun 1999, Usamah mengabdikan dirinya untuk perjuangan dakwah melalui Parmusi (Persaudaraan Muslimin Indonesia). Awalnya, Usamah terpilih menjadi Wakil Sekjen Parmusi. Lima tahun kemudian, 2002 hingga 2008 ia terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Parmusi, mendampingi sang ketua umum, Bachtiar Chamsyah, yang saat itu juga menjabat Menteri Sosial RI. Sempat menjadi salah satu Ketua PP Parmusi (2008-2014), Usamah pun terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PP Parmusi untuk periode 2015-2020.
Di tingkat nasional, pergaulannya dengan tingkat Ormas, Usamah mengaku bisa dekat dengan Muhamadiyah, NU, bahkan juga FPI. Demikian pula dengan partai politik. Tidak hanya partai Islam, ia juga bergaul dengan partai-partai nasionalis.
Misalnya dengan Joko Widodo, Presiden RI, Usamah pun menjalin hubungan baik. Walaupun dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum PP Parmusi, sikap-sikap politik keumatannya sering kali berbeda dengan kebijakan Jokowi. Pada Februari lalu, Parmusi tercatat pernah menggugat Presiden melalu PTUN supaya menon-aktifkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.
“Menggugat presiden itu biasa-biasa saja. Bukan sesuatu yang harus ditakuti. Kalau kita takut menggugat presiden karena persoalan hukum, pasti Negara ini otoritarian. Kita sudah dihantui. Dan ini tidak boleh dalam demokrasi. Umat harusnya berani menyampaikan sikapnya. Yang pasti melalui prosedur hukum,” tegasnya.
Karena itu, dalam pertemuannya dengan Presiden Jokowi pada 26 Mei lalu, Usamah mengaku menyampaikan dan meluruskan sejumlah hal terkait fakta kriminalisasi terhadap ulama. “Karena presiden juga dapat masukan dari sumber lain yang memusuhi Islam. Termasuk dari aparat yang ada. Dengan saya masuk kan mendapatkan pencerahan. Oo sebenarnya begitu?,” tambahnya.
Kedekatannya dengan Jokowi, karena Usamah merasa bahwa tugasnya adalah dakwah, termasuk dakwah ke penguasa. Ia mengaku 2014 lalu mengajak Jokowi pergi umroh (bersama alm. KH Hasyim Muzadi) dan mendoakannya menjadi presiden. Tapi melihat kebijakan Jokowi selama menjadi presiden, ia kini berubah.
Ia juga ikut menggerakkan Aksi Bela Islam, menggugat presiden melalui PTUN agar mencopot Ahok sebagai gubernur saat itu, menyampaikan ke presiden agar menghentikan kriminalisasi ulama dan lain-lain. “Ana sudah plong, ana sudah berdakwah ke presiden, agar menghentikan kriminalisasi ulama.”
Sebagai Ketua Umum Parmusi, Usamah sekali lagi mengingatkan, supaya Jokowi menghentikan kriminalisasi ulama. Ia berharap jangan sampai Jokowi dihancurkan oleh Allah. “Kalau beliau tidak mendengarkan masukan dari ulama, kita sudah berdakwah, Allah yang akan jatuhkan Jokowi,” pungkas Usamah.[fathurroji]