SUARA MASJID–Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Dr KH Didin Hafidhuddin melihat adanya gejala kesenjangan ukhuwah di tengah umat. Di antaranya ada kecenderungan sebagian umat Islam bergerak sendiri-sendiri sehingga bertentangan dengan konsep ta’awun dalam Islam.
“Ada kecenderungan umat bermain tunggal. Seharusnya, apapun jabatannya, membangun ukhuwah itu penting,” paparnya di hadapan para peserta seminar nasional Penyusunan Panduan Ukhuwah Islamiyah yang diselenggarakan Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI di Jakarta.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menjelaskan, ada beberapa kode etik ukhuwah Islamiyah yang bisa dilakukan. Pertama, setiap Muslim memandang sesama Muslim saudara seiman. Karena itu perlu ada perlakuan khusus terhadap saudara seiman, dengan kejujuran dan solidaritas. Bukan membunuh, mencaci maki, atau tindakan merugikan lainnya.
“Cara pandang kita, walaupun beda organisasi harus dipandang dengan kasih sayang dan menjauhkan hal-hal yang menyebabkan perpecahan,” terangnya seperti diunggah gontornews.
Kedua, sesama Muslim harus saling melindungi dan berkoordinasi. Rasa persaudaraan akan terjalin jika ada upaya untuk saling menolong, bukan sekedar berkumpul dalam organisasi tapi juga ada langkah kongkrit di tengah umat. Sebab tidak mungkin amar ma’ruf bisa dilakukan sendiri karena banyaknya problematika umat.
“Dengan Ukhuwah ini kita dihadapkan pada realitas bahwa kalau tidak ada kordinasi, umat terpecah belah dan saudara kita murtad,” paparnya.
Ketiga, mengutamakan kehidupan berjamaah dan menjadikan organisasi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Sebab menjadikan organisasi sebagai alat bisa menimbulkan sikap tasamuh (toleransi), bukan fanatik buta . “Jadi organisasi adalah alat bukan tujuan. Ini perlu ada perubahan paradigma berpikir,” paparnya.
Keempat, setiap ormas harus saling memandang ormas lain sebagai mitra dan sahabat perjuangan untuk kepentingan umat. Misalnya dalam menghadapi kristenisasi dan gerakan madharat lainnya, antarumat Islam harus saling menguatkan dari berbagai sisi sesuai bidang dan keunggulan yang dimiliki. “Kita harus mewariskan persatuan jangan mewariskan perpecahan,” tegasnya.
Kelima, dalam kehidupan politik, setiap Muslim mengedepankan kepentingan bersama dan meletakkan kepentingan kelompok atau ormas. Sebagai contoh dalam Pilkada DKI yang menjadi barometer Indonesia, bisa dibayangkan kalau pemimpinnya tidak dari mayoritas. “Harusnya kita saling mendukung dan mendorong karena di situ ukhuwah kita diuji,” terangnya.
Keenam, membangun ukhuwah Islamiyah dilakukan dengan cara bersilaturahim dengan orang yang akan terputus.
Ketujuh, setiap pemimpin dan ormas perlu menahan dalam perbedaan khilafiyah terutama di mimbar umat seperti khutbah Jumat.
Kedelapan, hubungan antarormas harus dilandasi dengan sikapkhusnudzan dan pandangan positif untuk pembangunan umat.
Kesembilan, setiap amal harus dipandang sebagai upaya keseluruhan umat. Misalnya Muhamadiyah miliki rumah sakit standar internasional, atau NU mampu membangun perekonomian dengan konsep Baitul Mal wa Tamwil berbasis pesantren, semua itu adalah wujud kemenangan bersama.
Secara umum, kata Ketua Direktur Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor ini, ukhuwah Islamiyah dengan ormas dan kelompok Islam harus dimulai dari ta’awun (menolong) dan takaful (melindungi). Islam dan iman adalah perilaku sehingga ukhuwah islamiyah ini terlihat pada perilaku, berpikir dan muamalah.
“Jangankan kepada manusia, dengan binatang saja kita diminta menyayangi. Tugas kita membangun ukhuwah dan tasamuh (tolerasi) terhadap yang berbeda agama,” tuturnya. [FR]