Oleh : Dienan Aulia – Mahasiswa STEI SEBI
Pengawasan Syariah keuangan islam – adalah struktur penting dalam tata kelola IFI (Islamic Financial Institution/Lembaga Keuangan Islam). IFI adalah lembaga keuangan islam yang resmi dan dalam aktivitas kegiatan mereka harus sesuai dengan syari’ah islam. IFI tersebar di berbagai negara dan diatur oleh bank sentral, otoritas pasar modal, dan regulator lainnya(Garas & Pierce, 2009).
Menjadi struktur penting dari sebuah tata kelola, berarti dengan tidak adanya pengawasan syari’ah tersebut menjadikan tata kelola keuangan islam tidak berjalan dengan baik. Karena adanya pengawasan yang khusus dalam bidang syari’ah adalah untuk menjaga tata kelola keuangan islam agar setiap kegiatan tetap berjalan dengan baik tidak keluar dari syariat Islam. Dengan adanya standarisasi keuangan islam, tata kelola islam menjadi lebih tertata.
Menurut agama islam tentang kekayaan yang didapatkan adalah dengan menganggap bahwa semua hanyalah titipan dan kepercayaan oleh Allah untuk manusia. Sehingga bukan manusia yang memiliki, tapi hanya titipan dari Allah. Sehingga pentinglah untuk melakukan transaksi keseharian dengan sesuai dengan ajaran islam tidak melakukan transaksi yang dilarang. Karena itulah dibutuhkannya pengawas yang ahli syari’ah di setiap aktifitas untuk mengawasi agar tidak keluar syariat islam.
Pengawasan syari’ah adalah sebuah proses untuk meriview, menganalisis dan memberikan opini tentang tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh individu ataupun sebuah kelompok dan lembaga untuk memastikan bahwa mereka mematuhi syariat dalam melakukan aktifitasnya. Dengan tujuan memberikan pendapat atau opini sesuai yang didapatkan setelah menganilisis kegiatan yang dilakukan, sehingga meningkatkan kepercayaan pemegang saham.
Menurut Garas & Pierce (2009) Kegiatan utama dari Pengawas syari’ah adalah merevisi anggaran dasar dan semua kebijakan internal, penerbitan keputusan agama (fatwa) sebelum merilis produk mereka ke masyarakat untuk memastikan bahwa produk tersebut sudah sesuai dengan syariat, meninjau produk baru dan kontrak selama eksekusi mereka untuk memastikan kepatuhan mereka dengan syariat dan pelaporan pendapat syari’ah kepada pihak yang terkait.
Dengan adanya peran Pengawas syari’ah dalam mengawasi dari semua aktifitas yang dilakukan memberikan guidelines pada manajeman dan tata kelola yang baik. Dari awal hingga akhir, seperti memberikan opini akhir tahun tentang laporan aktifitas terhadap kepatuhan syari’ah dan hasil kinerja manajemen sehingga lebih transparan sehingga meningkatkan kepercayaan pemegang saham. AAOIFI memberikan persyaratan untuk standar tata kelola dan bank sentral, yaitu Pengawas syari’ah harus dialokasikan diantara pemegang saham, Board of Directors (BoD/Direksi) pada hirarki organisasi untuk memastikan bahwa tidak adanya independansi dan adanya campur tangan tata kelola bagian lainnya.
Pengawas syari’ah tidak diperbolehkan memegang posisi eksekutif atau mengakuisisi kepemilikan dalam perusahaan yang signifikan. Dengan adanya peraturan tersebut, dapat meningkatan kepercayaan pada pemegang saham ketika dikeluarkannya keputusan Pengawas syari’ah dalam memberikan hasil opini evaluasi kinerja manajemen dan lainnya. Karena jika Pengawas syari’ah memasuki jajaran eksekutif atau memegang jabatan yang berpengaruh dalam perusahaan secara signifikan, dapat memberikan keraguan kepada pemegang saham, karena opini atau hasil evaluasi dapat dimanipulasi sesuai dengan kebutuhan individu yang bersangkutan. Adanya peluang yang besar untuk campur tangan jika pemegang posisi eksekutif bersamaan dengan memegang jabatan sebagai Pengawas syari’ah, sehingga opini yang dikeluarkan tidak valid dan menurunkan kepercayan pemegang saham.
Di Indonesia – Pengawas syari’ah disebut juga dengan DPS (Dewan Pengawas Syari’ah). Dalam beberapa tahuan belakangan produk keuangan islam atau penerapan sistem keuangan Syariah semakin banyak dan diminati oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, karena bertujuan menjadikan perekonomian yang lebih baik sesuai dengan syariat Islam. Disebutkan bahwa total aset keuangan Syari’ah di Indonesia menurut Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen (2019) telah mencapai Rp 1.359 triliun atau sebesar 8,71% dari total aset industri keuangan nasional. Semakin meningkatnya keuangan islam menjadikan meningkatnya kebutuhan sistem yang berdasar syari’ah.
Sistem syari’ah memiliki potensi untuk menyejahterakan masyarakat dengan menerapkan konsep yang adil, jujur, dan bertanggung jawab. Unsur yang diprlukan untuk dikatakan sebuah sistem yang syari’ah adalah dengan pelarangan Riba (bunga), Maysir (perjudian/untung-untungan) dan Gharar (ketidakpastian). Dengan adanya operasional tata kelola Islam dan praktik-praktik penerapan ekonomi syari’ah, maka dibutuhkan badan yang independen yang mengawasi agar tetap konsisten dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip Syari’ah yaitu Dewan Pengawas Syari’ah (DPS). DPS direkomendasikan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN), sebuah badan yang berada di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Disebutkan oleh Hassan (2001) bahwa fungsi pengawasan Syari’ah adalah membimbing dan mengendalikan. Membimbing termasuk revisi kebijakan, kontrak, perjanjian, dan pelatihan manajemen dalam menerapkan aturan syari’ah dan mengendalikan adalah review transaksi yang lengkap untuk memastikan kepatuhan dengan fatwa dan keputusan. Sehingga penting bahwa DPS, sebagai pengawas syari’ah di Indonesia perlu adanya pemahaman yang mendalam terlebih dahulu tentang islam dan pengawas syariah adalah orang yang telah ahli dalam syari’ah sehingga dapat membimbing dan mengendalikan tata kelola keuangan agar tetap dalam kepatuhan syari’ah.
Dengan dibutuhkannya pengawas syari’ah untuk mengawasi dan memberikan opini atas jalannya manajemen yang baik sesuai dengan syariah. Maka, pentingnya pengawas syari’ah yang profesional dan ahli dibidang ekonomi syari’ah di Indonesia, sehingga dapat mengembangkan sistem tata kelola islam yang lebih baik. Dengan tujuan menaikkan kesejahteraan ekonomi masyarakat dan mengembangkan keuangan islam.
(source: Journal Shari’a supervision of Islamic financial institutions;2010; Samy Nathan Garas – New York Institute of Technology, Manama, Bahrain, and Chris Pierce – Global Governance Services Ltd, Orpington, UK )