Usianya waktu itu belum genap 6 tahun, namun Allah berikan keistimewaan pada diri bocah cilik bernama Musa ini dengan hafal 29 juz. Kini seiring usia bertambah, ia pun sudah hafal 30 juz. Bahkan ia dinobatkan sebagai hafidz termuda di Indonesia.
SUARA MASJID–Siapa yang tidak kenal musa? dialah pemenang Hafidz Indonesia tahun 2015. Musa bocah kelahiran Muntok tahun 2009 ini, sudah kenyang menang dalam kejuaraan MTQ, baik skala nasional maupun internasional.
April 2016, anak dari La Ode Abu Hanafi ini mendapat Surat Tugas untuk hadir dalam acara Musabaqah Tilawatil Qur’an yang ke-23 di Mesir bertepatan tanggal 10-14 April 2016.
Anak kelahiran Bangka tahun 2008 ini berhasil menjuarai MTQ di Mesir dengan prestasi ke-3 mewakili anak hafidz di Indonesia. Semoga Allah senantiasa memberikan perlindungannya dan memberikan keberkahan terhadap Al-Qur’an yang dimilikinya
Musa beserta rombongan berangkat ke Mesir. Ditemani sang guru yang juga ayah kandung Musa, La Ode Abu Musa yang selalu memberikan kabar terupdate dari akun FB pribadinya atas aktifitasnya di Mesir.
Luar biasa, Musa berhasil menjuarai peringkat ke-3 MTQ di Mesir mewakili anak hafidz di Indonesia. Semoga Allah senantiasa memberikan perlindungannya dan memberikan keberkahan terhadap Al-Qur’an yang dimilikinya.
Sebelumnya, ia pernah dikirim untuk mengikuti perlombaan hafalan Alquran tingkat Internasional di Jeddah, Arab Saudi. Musa menjadi yang termuda dalam ajang tersebut dan menduduki peringkat ke-12 dari 25 peserta yang ikut bertanding. Musa mendapatkan nilai Mumtaz yakni 90,83 poin dari 100 nilai sempurna. Pasca perlombaan Musa berhasil menuntaskan hafalannya menjadi keseluruhan 30 juz Alquran, hal ini dapat terlaksana karena sebelum mengikuti acara sebenarnya ia hanya kurang dua surah saja.Pada bulan Agustus 2014, Musa memperoleh piagam penghargaan tingkat nasional dari MURsebagai Hafiz Al-Quran 30 Juz termuda di Indonesia.
Mengenal Sosok Musa
Saat dia kali pertama tampil di panggung, seisi studio RCTI menangis haru menyaksikan kemampuannya. Prof Amir Faishol, pakar tafsir Alquran yang menjadi salah seorang juri, sembari berlinang air mata mendatangi Musa, lalu mencium tangannya.
Musa sebetulnya sangat pemalu. Dia jarang bertemu banyak orang sehingga saat kali pertama tampil di panggung sangat gugup. ”Saat itu dia sudah mau menangis,” ujar La Ode Abu Hanafi, ayah Musa. Setelah ditenangkan, perlahan Musa mulai bisa menyesuaikan diri. Untuk memudahkan adaptasi, Hanafi membaurkan Musa dengan para peserta lainnya.
Minat Musa terhadap Alquran sudah tampak sejak dirinya belum genap berusia dua tahun. ”Setiap kali saya perdengarkan kaset murottal (pembacaan) Alquran anak, dia senang dan sangat antusias menirukan,” ungkap pria 33 tahun itu. Melihat kondisi tersebut, Hanafi pun makin sering memperdengarkan kaset murottal kepada Musa.
Tidak lama setelah ulang tahun kedua Musa, Hanafi memulai bimbingan Alquran untuk anaknya itu. Karena Musa belum bisa membaca Alquran, Hanafi membimbingnya dengan metode talqin atau membacakan hafalan. Musa diminta menirukan pelafalan sang ayah. Mengingat usia sang anak, Hanafi mengajarinya dengan perlahan. Satu sesi belajar hanya berlangsung lima sampai sepuluh menit.
Bukan hal mudah mengajarkan Alquran kepada bocah yang ketika itu berusia dua tahun. Proses Musa untuk menjadi hafiz, beber Hanafi, tidak seperti yang dibayangkan kebanyakan orang. Bagian pertama yang diajarkan kepada Musa adalah surat terakhir Alquran, yakni An Naas.
”Saya ajarkan qul saja, butuh dua sampai tiga hari dia ikuti,” kenangnya. Kemudian, menyambungkan kata qul dengan a’udzu juga butuh waktu.
Durasi Musa untuk menghafal Qul a’udzu birobbinnaas (ayat pertama surat An Naas yang berarti Katakanlah, aku berlindung dari Tuhan manusia) butuh setidaknya satu pekan.
Kemudian, saat berhasil menghafal ayat kedua,Musa lupa bagaimana bunyi ayat pertamanya sehingga hafalan harus diulang dari awal. ”Jadi, surat An Naas itu mungkin bisa ratusan kali diulang sama saya,” ungkapnya.
Metode talqin tersebut hanya dilakukan selama dua tahun dan menghasilkan hafalan dua juz ”saja”, yakni juz 30 dan 29. Hanafi mengajari Musa menghafal dari belakang, yakni dari juz 30 hingga 18. Kemudian, dia melanjutkan pelajaran menghafal dari juz 1.
Di usianya yang keempat tahun, Musa sudah bisa membaca Alquran sehingga proses hafalan menjadi lebih ringan daripada sebelumnya. Karena sudah bisa membaca Alquran, Musa mulai bisa belajar mandiri. Setiap hari Musa mampu menghafal 2,5 sampai 5 halaman Alquran dan diperdengarkan di depan Hanafi.
Dalam bimbingan Hanafi, Musa bisa menghabiskan waktu enam sampai delapan jam untuk menghafal Alquran. Hanafi memang seorang guru mengaji. Hanafi juga menghidupi keluarganya lewat kebun karet miliknya dan usaha dagangnya.
Lazimnya seorang bocah, waktu bermain juga menjadi kebutuhan yang tak bisa diabaikan. Untuk itu, setiap empat hari Hanafi meliburkan pelajaran menghafal Alquran dan memberi Musa kesempatan bermain seharian.
”Musa main mobil, kereta, sama bola sampai kotor,” ucap Musa saat ditanya mainan kesukaannya sembari bergelayut manja di pangkuan sang ayah.
Selain bermanja-manja dengan sang ayah, selama wawancara, Musa menggoda sang adik Hindun yang masih berusia dua tahun. Sempat pula Musa menangis karena lelah. Namun, setelah diberi mainan, tangisnya mereda.
Hanafi menuturkan, putranya bisa jadi apa saja suatu saat kelak. Bisa dokter, ulama, tentara, atau profesi lainnya. Namun, Hanafi memang punya target agar Musa menjadi hafiz dahulu. ”Agar dia bisa bermanfaat untuk (agama) Islam dan umat Islam,” tutur suami Yulianti itu.
Musa tampak tidak terbebani gelar hafiz yang disematkan kepada dirinya. Sebagaimana layaknya bocah, dia sangat senang manakala disodori mainan. Musa juga sudah punya cita-cita yang ingin diraihnya. ”Ingin jadi pilot,” ucap Musa lugas.
Hanafi mengakui bahwa dirinya dan istrinya bukanlah hafiz. Dia juga awalnya tidak yakin anaknya mampu. Namun, setelah merenung, dia dan sang istri memantapkan niat untuk menjadikan Musa seorang hafiz.
Musa yang merupakan sulung dari tiga bersaudara mampu menuntaskan hafalannya pertengahan Juni lalu. Surat terakhir yang dihafalkannya adalah Al Isra dan An Nahl.
Kemudian, pada akhir Juni, Musa diikutsertakan dalam ajang perlombaan hafiz internasional di Jeddah, Arab Saudi. Musa menjadi satu-satunya peserta asal Indonesia. Dia pun menjadi buah bibir di ajang tersebut karena usianya yang belum genap enam tahun.
Kedua orang tua Musa bertekad menjaga Musa agar tetap bisa konsisten. Untuk itu, mereka berencana menyekolahkan Musa dengan metode homeschooling.
”Itu upaya kami untuk menjaga hafalan Musa. Kami sedang mengajukan izin kepada pemerintah kabupaten dan menyesuaikan kurikulumnya,” terang Yulianti, ibu Musa, saat diwawancarai dalam kesempatan berbeda.[FR]
Sumber: jppn.com & voaislam