SUARAMASJID| Kamus John M Echoles tak asing lagi bagi pengusaha batu alam ini saat nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura. Kemanapun ia berada, buku bercover biru dengan tiga blok warna kuning, hijau dan pink ini selalu ia sanding. Dialah Muhammad Tarmudi.
Tak disangka, kemampuan berbahasa Inggris selama di pondok mengantarkan dirinya bergelut di bisnis batu alam di Tulungagung dengan bendera usaha bernama TSM (Tulungagung Stone Mosaics).
Perjalanan bisnis lelaki kelahiran Samarinda 18 Mei 1978 dimulai ketika ia menjadi seorang guru di pesantren yang juga memiliki unit usaha perakitan mosaik batu alam. “Saya ngajar bahasa arab dan bahasa inggris di situ. Selain ngajar para santri, sempat juga ngajar bahasa inggris pada para pengusaha juragan mosaik batu alam yang ingin bisa export langsung,” kenangnya.
Melihat tatanan batu alam di rumah para pengusaha batu alam, membuatnya tertarik untuk mengenal lebih jauh tentang mosaik batu alam. Tahun 2006, Tarmudi mulai belajar kepada para pengusaha di Tulungagung.
Suata hari, Kamar Dagang Indonesia pusat akan mengirim satu duta dari tiap daerah ke Matcmaking Bussines Meeting di Dubai dan Jordan 2006 untuk mempromosikan produk daerahnya masing-masing, salah satunya duta marmer dari Tulungagung.
“Karena mungkin waktu itu tidak ada yang siap karena kendala bahasa, Alhamdulillah saya yang ditunjuk untuk berangkat padahal produk knowledge masih minim, yaa bismillah saja,” papar suami dari Sulami ini.
Takjub dan terpesona ketika Tarmudi melihat keindahan batu-batu dari Indonesia, selain unik juga keasliannya masih terjamin dibanding dengan produk batu dari negara-negara yang ikut acara di Dubai dan Jordan.
“Disanalah saya bisa melek, bahwa produk kita ini unik dan benar-benar masih orisinil belum ada yang punya, kalaupun ada waktu itu, karakter dan jenis masih lebih bagus dan unik batu alam punya kita,” kata alumni (Arabic Faculty) Jami’ah Imam Muhammad ibn Sa’ud LIPIA Jakarta.
Sepulang dari Dubai dan Jordan, bapak 4 anak ini semakin memantabkan diri untuk mengembangkan produk batu Tulungagung ke mancanegara. Menurut Tarmudi, para pengrajin bukannya tidak bisa membuat produk unggulan, tapi mereka tidak bisa memasarkan karena terkendala bahasa dan belum melek internet.
Dengan kemampuan bahasa yang pernah ia pelajari di pondok Al-Amien Prenduan, ia berazam dalam hati akan memasarkan produk mosaik batu alam yang ada, agar bisa go internasional. Ia pun mulai kenal dengan Disperindag Tulungagung, dan mengikuti pelatihan ekspor-impor.
“Alhamdulillah jadi tahu banyak tentang expor impor dan dari para nara sumber yang rata-rata adalah praktisi expor impor, kita juga dikasih tahu beberapa link buyer di beberapa negara yang bisa diloby,” katanya bapak dari Dimas El-fatih yang kini nyantri di Gontor ini.
Setelah tiga tahun mengenal lebih dekat dengan batu alam Tulungagung, Tarmudi akhirnya nekad untuk membuka usaha sendiri dengan nama Tulungagung Stone Mosaics (TSM) tahun 2009. Dengan modal 10 juta, ia memulai menggelar produknya di dunia online dan offline.
“Waktu itu, dapat pinjaman dari seorang kawan, sebetulnya jauh dari kata cukup untuk memulai usaha batu alam yang biasanya ratusan juta bakan milliaran, tapi waktu itu Alhamdulillah bermodal kepercayaan dari buyer pertama yang bersedia untuk memberi support dana pada order pertama kali yang saya kerjakan, juga kepercayaan dari beberapa mitra supplier yang bersedia untuk dibayar bertahap setelah barang terkirim,” jelas yang aktif di Indonesian Islamic Bussiness Forum (IIBF) Tulungagung ini.
Saat awal merintis, ia tak memiliki karyawan, karena masih mengandalkan kemitraan. Gudang dan pabrik produksi juga belum punya, hanya untuk quality control dan packing ia turun lansgung agar kualitasnya terjamin. “Angkut-angkut barang ketika trucking juga ikut, waktu itu ketika kirim barang juga saya ikut truck untuk memastikan barang sampai ke tempat tujuan dengan selamat,” ujarnya.
Tarmudi melihat persaingan harga di pasar lokal kurang terkendali, harganya pun tak menentu dan cenderung kurang sehat, ditambah kurang bersatunya para pengrajin. Akhirnya, tahun 2010, ia berinisiatif untuk ekpsor langsung, menjual langsung ke buyer. Pasar pertama ke Florida. “Waktu itu masih belum bisa penuh full kontainer, masih gabung ke kontainer orang,” kenangnya.
Seiring meningkatnya produksi batu alam untuk mancanegara, Tarmudi juga memberdayakan warga sekitar terutama para ibu untuk tenaga perakitan mosaik batu alam ini, “Sebelumnya banyak ibu-ibu yang terpaksa harus ‘lungo’ (pergi-red) ke luar pulau bahkan ke luar negeri untuk menjadi PRT, sekarang Alhamdulillah jauh berkurang,” papar pemilik 60 karyawan ini.
Para buyer luar negeri ternyata sangat tertarik dengan marmer Tulungagung warna putih dan hitam. Meski ia juga menyediakan batu Pebel dari berbagai daerah seperti Sumatra, NTT, NTB, Flores, dan Bali.
Untuk pemasaran selama ini, Tarmudi banyak menggunakan media sosial di internet. Selain itu juga testimoni dari para pelanggan dari mulut ke mulut ternyata juga efektif. Ia juga coba untuk menawarkan ke beberapa desainer dan developer. “Alhamdulillah setiap bulannya TSM bisa memproduksi 1500 m2,” jelasnya.
Saat ini Tarmudi ingin mewujudkan mimpinya menjadi pengusaha pribumi muslim di bidang batu alam yang berpengaruh di negeri ini. Pasalnya, pengusaha batu alam saat ini adalah orang asing, bahkan ada beberapa yang sudah berhasil mendirikan pabrik besar di negeri ini, karena selain mereka modal besar, juga punya market sendiri.
“Kalau boleh bermimpi, saya ingin menjadi pengusaha batu alam asli pribumi muslim yang paling kuat dan berpengaruh di negeri ini,” harapnya.
Mantan Qismul I’lam di Pondok
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak mendatangkan manfaat bagi orang lain,” demikian salah satu wejangan kiai yang selalu Tarmudi ingat saat nyantri di Pondok Al-Amien Prenduan.
Menjalankan bisnis batu alam tak semata mencari profit, lebih dari itu bagaimana bisa lebih banyak bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Nilai-nilai keikhlasan yang pernah diajarkan dalama Panca Jiwa Pondok terus berusaha ia terapkan dalam berbisnis.
“Memang tidak berkaitan secara langsung, tapi nilai-nilai yang ditanamkan dulu ketika di pondok saya rasakan sangat besar pengaruhnya sampai bisa seperti sekarang ini,” kata santri yang pernah menjadi qismul i’lam ini.
Berbisnis bukan semata karena ingin mendapatkan keuntungan dunia, tapi diniatkan untuk mencari ridlo Allah, “Saya ingin adanya TSM menjadi sebab kebaikan, sebab manfaat, sebab jalan rezeqi, dan syukur-syukur jadi sebab hidayah bagi banyak orang,” ujarnya pendiri Yayasan Pendidikan dan Dakwah Al-Islam di Tulungagung ini.
Aplikasi dari semua itu, Tarmudi selalu menyisihkan hasil usahanya untuk membantu anak yatim dan tidak mampu. Saat awal merintis, ia masih mampu membantu untuk 2 anak. Kini jumlah yang dibantu TSM sudah mencapai 30 anak.
“Doakan mudah-mudahan bisa bertambah dan istiqomah,” tutur lelaki yang aktif di komunitas ODOJ (One Day One Juz) di Tulungagung ini. [FR]