Sore di Masjid Al-Kautsar, Mataram. Nampak beberapa anak asyik menghafal Al-Qur’an tanpa melihat kitab yang dipegangnya dengan suara merdu. Ada juga yang asyik khusyu’ shalat sunnah di beberapa ruas shaf masjid. Santri-santri itu begitu menikmati suasana masjid yang sejuk. Suasana ini akan bertambah nikmat apabila angin bertiup lirih menelisik ventilasi masjid dan menerpa wajah mereka.
Masjid dengan arsitektur modern dengan polesan keramik mengkilat ini nampak megah. Memandangnya seperti menikmati eksotisme Masjidil Haram di Makkah. Masjid ini terdiri atas dua menara kembar yang menjulang tinggi. Satu kubah besar dan dua kubah kecil dengan dominasi warna biru dan putih. Balutan cat hijau, biru dan ciklat di hampir banyak ruas masjid ini semakin mempertegas bahwa masjid memang megah dan artistik.
Masjid Al-Kautsar tidak saja digunakan untuk pelaksanaan ibadah mahdlah semata, melainkan juga berbagai aktivitas keilmuan, pembinaan bahasa santri dan kegiatan kemasyarakatan. Di sinilah kehidupan santri dan masyarakat Pesantren Al-Aziziyah berdetak. Dari masjid ini semua bermula, dan ke masjid ini semua kegiatan santri dan masyarakat bermuara.
Masjid yang berada di kompleks Pesantren Al-Aziziyyah, Mataram, Lombok, ternyata tak pernah sepi dari kegiatan para santri yang berjumlah sekitar 1500 orang. Ia adalah jantung pondok. Sejak dini, para santri dituntun agar hatinya senantiasa melekat kuat dengan masjid. Ia tidak saja sebagai simbol keagamaan, melainkan sarana yang paling kondusif untuk membina kepribadian santri dari segala dimensinya. Dari masjid semua aktivitas pendidikan dan pengajaran berangkat, khususnya pembinaan mental dan spiritual para santri.
Masjid megah yang dibangun pada tahun 2001 ini, berkah kemurahan hati dan kedermawanan salah satu pengusaha dari Jakarta bernama Dr. H. Muhammad Bhakty Kasry. Pak Bhakty dikenal sebagai CEO PT. Pandu Siwi Sentosa. Satu perusahaan yang bergerak di bidang jasa kurir dan logistik.
Masjid adalah sentra perubahan sosial masyarakat. Karenanya, masjid hendaknya dipakai untuk berbagai kegiatan keumatan, tidak saja ibadah ritual, melainkan juga ibadah sosial dan pemberdayaan umat, dari segala sisi kehidupannya. Dia meyakini kalau masjid dimaksimalkan fungsi sosialnya niscaya akan tercipta kemakmuran dan kesejahteraan, setidaknya bagi jemaah masjid tersebut.
Masjid bagi santri Al-Aziziyah ibarat jantung dari kegiatan yang ada di pesantren. Hampir seluruh kegiatan yang diadakan pesantren ini bermuara di masjid agung ini. Masjid ini menjadi pembuka dan penutup kegiatan di pesantren.
Satu jam sebelum azan Shubuh berkumandang, masjid ini telah riak dengan suara santri membaca Al-Qur’an. Mereka melakukan murajaah dari hafalan yang diperoleh sebelumnya. Tidak itu saja, mereka juga memanfaatkan waktu mustajabah itu untuk mempelajari pelajaran yang akan diajarkan di sekolah pagi harinya. Semua itu dilakukan setelah mereka melakukan shalat tahajjud dan ibadah sunnah lainnya. Pesantren ini meyakini bahwa shalat tahajjud mampu mengangkat derajat para santri ke tingkat yang lebih tinggi, terutama di hadapan Allah.
Sebagai jantung dari Pesantren Al-Aziziyah, sengaja masjid ini didesain untuk bisa menampung para santri dan masyarakat sekitar. Karena itu, masjid pesantren ini dibangun dengan biaya tidak murah. Desainnya pun dirancang seartistik mungkin agar para santri enjoy melakukan berbagai aktivitas di dalamnya. Harapan lainnya adalah agar para santri dan penghuni pondok lainnya senantiasa termotivasi untuk giat dalam beramal shaleh. Akhirnya, siapa pun yang memasuki masjid ini mampu merasakan energi positif yang mengalir dari kesucian masjid.
Masjid yang memiliki dua menara ini diarsiteki langsung oleh almarhum Tuan Guru H. Musthafa Umar, pengasuh pondok ini. Hanya dengan bekal tongkat tua di tangannya, Musthafa memberikan titik-titik yang harus digali dan dibangun. Sepertinya tak mungkin, tapi itulah kenyataan. Makanya kalau ada arsitek yang ingin melihat gambar arsitek masjid ini maka dipastikan tidak ada. Musthafa membangun berdasarkan feeling. Ia hanya menggambarkan bentuknya seperti ornamen Masjidil Haram.
Kini, masjid berkapasitas sekitar 2000 orang ini terus memberikan aura positif bagi yang beribadah di dalamnya. Dari masjid ini, para penghafal Al-Qur’an, anak-anak yatim dan mujahid fi sabilillah terus konsisten menggemakan doa-doa tulus secara ikhlas untuk pengembangan dan kejayaan Pesantren Al-Aziziyah ini dari waktu ke waktu. [FR]