Saat masih anak-anak, ia dijuluki oleh teman-temannya Si Rusa, karena kelincahannya dalam bermain bola. Meski senang bermain, diusianya yang masih 7 tahun, ia sudah menghafal al-Qur’an. Dialah Gurutta Abdurrahman Ambo Dalle, seorang ulama terkemuka asal Wajo, Sulawesi Selatan.
Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan yang islami, ia dilahirkan sekitar tahun 1900 M, di Desa Ujung Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, dari orangtua Andi Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Andi Candara Dewi.
Meski lahir dari kalangan bangsawan, Gurutta tidak dibiarkan menjadi bocah manja. Sejak dini ia ditempa dengan jiwa kemandirian dan kedisiplinan, khususnya dalam masalah agama. Bersekolah di Volk School (Sekolah Rakyat) sore hingga malam belajar mengaji.
Ambo Dalle banyak belajar ilmu Al-Quran seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu sharaf, tafsir, dan fikih. Ia juga mengikuti kursus bahasa Belanda di HIS dan pernah belajar di Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI) di Makassar.
Pada tahun 1928, ketika H. Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-Bugisy, seorang ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekkah pulang kembali ke negeri leluhurnya, Ambo Dalle segera berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari guru besar tersebut.
Peluang untuk menuntut ilmu semakin terbuka tatkala telah banyak ulama asal Wajo yang kembali dari Mekkah. Di antaranya Sayid Ali Al Ahdal, Haji Syamsuddin, Haji Ambo Omme. Karena itu, lingkungan kerajaan tempat ia dibesarkan sering kedatangan ulama dari Mekkah. Diantara ulama itu adalah Syekh Muhammad Al-Jawad, Sayid Abdullah Dahlan dan Sayid Hasan Al-Yamani.
Suatu hari, ketika AGH. Muhammad As’ad seorang ulama Bugis menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Ambo Dalle. Jawaban Ambo Dalle dianggap yang paling tepat. Maka, sejak saat itu ia diangkat menjadi asisten. Sehingga pada tahun 1935, ia berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa bulan untuk mendalami ilmu agama pada para syeikh di Mekkah.
Berbekal ilmu dan pengalaman mengajar, Ambo Dalle diberi amanah untuk memimpin Madrasah Aliyah Mangkoso. Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah ini sangat pesat, terbukti dengan banyak permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang.
Saat pendidikan mulai berjalan, masalah mulai datang. Ketika Jepang masuk di bumi Sulawesi Selatan. Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai menghadapi kesulitan karena pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah ini. Untuk mengatasi masalah ini, Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Ia mengambil inisiatif agar pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas, dipindah ke masjid dan rumah-rumah guru. Untuk mengelabui penajajah, mereka mengecat daun pintu dan jendela masjid berwarna hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar.
Perjuangan Ambo Dalle ia tunjukkan lewat pengabdiannya menjadi Kadhi, selama bertahun-tahun mengayuh sepeda dari Mangkoso ke Pare-Pare yang berjarak 30 km. Perjalanan panjang dan melelahkan itu dilakoninya tanpa mengeluh, karena ia juga menjalankan tugas sebagai Kadhi di Pare-Pare. Bagi orang lain, hal itu mejadi sesuatu yang sangat menguras tenaga. Namun, bagi Gurutta Ambo Dalle, jiwanya telah terbungkus dengan jiwa pengabdian dan kecintaan agama yang kukuh sehingga semua dijalani dengan ikhlas dan ridha.
Ketika berkecamuk kemerdekaan, Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang menurutnya nyaris terbengkalai. Dia sadar selain bertempur melawan penjajah dengan senjata, berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dirantai kolonialisme selama berabad-abad.
Dalam situasi seperti itu bersama beberapa ulama Sengkang, diantaranya AG.H.Daud Ismail dan AG.H.M.Abduh Pabbajah, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle melakukan pertemuan alim ulama/kadhi se Sulawesi Selatan di Watang Soppeng. Pertemuan itu diadakan pada hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H / 5 Februari dan berakhir pada hari Jumat tanggal 16 Rabiul Awal 1366 H / 7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati membentuk organisasi yang diberi nama Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI), yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle terpillih sebagai ketua.
Pasca proklamasi kemerdekaan, Ambo Dalle menugaskan siswa-siswa kelas tertinggi untuk mengajar di madrasah-madrasah yang tersebar di mana-mana. Mereka diwajibkan mengabdi selaku pendidik dalam jangka waktu tertentu. Setelah selesai, barulah mereka dipanggil kembali untuk meneruskan pelajarannya. Prakarsa ini ternyata bermanfaat ganda. Kesulitan tenaga pengajar dapat ditanggulangi tanpa memerlukan biaya besar. Sedangkan bagi para siswa, kegiatan tersebut berguna sebagai wahana mempraktikkan ilmu yang telah mereka dapatkan di madrasah.
Sebagai ulama, Ambo Dalle juga produktif menulis, banyak tulisannya mengurai masalah kesufian. Cabang-cabang ilmu agama ia kupas dengan tuntas, seperti akidah, syariah, akhlak, balaghah, mantik, dan lain-lain. Kesemua itu tercermin lewat karangan-karangannya yang berjumlah 25 judul buku.
Gurutta KH. Abd. Rahman Ambo Dalle berpulang dalan usia senja mendekati satu abad. Namun, tahun-tahun menjelang ia wafat, tetap dilalui dengan segala kesibukan dan perjalanan-perjalanan yang cukup menyita waktu mesksi kondisi beliau yang mulai uzur. Misalnya, usia 80 tahun ia masih aktif sebagai anggota MPR dan MUI pusat. Dalam rentanya dan kaki yang sudah tidak mampu menopang tubuhnya, ia masih sempat berkunjung ke Mekkah untuk melakukan Umrah dan memenuhi undangan Raja Serawak (Malaysia Timur), meskipun mesti digendong. [FR]