SUARAMASJID.com| Jakarta– Umat Islam dan kelompok Islam politik diharapkan menjalankan siyasah “High Politic”, politik tingkat tinggi, dimana MUI tetap menjadi pusat pengendali untuk tidak membiarkan umat Islam seperti anak ayam kehilangan induknya. MUI tetap harus menjadi pelayan dan pelindung umat.
Demikian Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indenesia (MUI), Prof. Dr. H.M Din Syamsuddin, MA saat memberi sambutan dalam Pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II MUI Masa Khidmat 2015-2020 di Hotel Mercury, Ancol, Jakarta Utara, Rabu ( 23/11/2016) malam.
Din tidak ingin adanya dialog yang rancu, dengan menuduh MUI sebagai lembaga yang anti toleransi dan anti kebhinekaan. Faktanya yang anti toleransi dan kemajemukan adalah mereka sendiri.
MUI sudah sampaikan, bahwa sikap keagamaan MUI tidak ada kaitannya dengan Kristen ataupun Tionghoa, yang menyebut MUI sebagai lembaga yang intoleran dan anti kemajemukan. “Kami khawatir, jika penyebab persoalan tidak segera diatasi, bara api akan membesar.”
Jika ada yang nama MUI, seperti GNPF-MUI, meski sikap keagamaan itu bukanlah fatwa, tapi pendapat keagamaan bisa lebih tinggi dari fatwa. “Jadi tidak apa-apa, tetap husnuzon dan positif saja. Ini membuktikan, umat merasa memiliki MUI, dan sensitif ketika MUI diganggu gugat oleh kelompok tertentu untuk dibubarkan.”
MUI berpandangan, di negara demokratis, sah-sah saja adanya unjuk rasa, dan itu konstitusional. Tentu, selama aksi unjuk rasa tidak dilakukan secara anarkis dan menimbulkan kemudharatan yang lebih besar. Yang pasti, selalu ada pihak atau kelompok yang mengail di air keruh.
Lebih jauh Din menegaskan, semua ormas Islam adalah bagian dari bangsa ini yang memiliki peran dan sumbangsih besar untuk mengawal NKRI. Maka wajar jika ormas Islam tersinggung, jika disebut tidak toleransi dan anti kebhinekaan. Karena itu perlu tingkatkan komunikasi dan silaturahim.[DES]