Muhammad Natsir, salah seorang ulama yang ikut andil besar dalam membawa bangsa ini menjadi bangsa besar yang berdaulat. Natsir pula yang memperjuangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan mengajukan ”Mosi Integral” kembali ke NKRI pada 1950.
Dalam pidatonya, Natsir mengangkat konsepsi politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Bahkan pada masa Kabinet Natsir pula, Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Banyak catatan sejarah menulis, berkali-kali Natsir menyelamatkan NKRI dari ancaman perpecahan. Pada 1949, Natsir berhasil membujuk Sjafruddin Prawiranegara, yang bersama Jenderal Sudirman merasa tersinggung dengan perundingan Roem-Roijen, untuk kembali ke Jogjakarta dan menyerahkan pemerintahan kembali kepada Soekarno-Hatta.
Sebagai negarawan yang berjuang tanpa pamrih, Natsir tidak pernah berdiam diri terhadap kemunkaran yang terjadi dalam episode buram sejarah nasional. Terkait dengan bergabungnya Natsir dalam pergolakan PRRI di Sumatera Barat, patut disimak hasil studi dan penelitian George Mc Turnan Kahin, guru besar Cornell University, Amerika Serikat, bahwa Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap berusaha mencegah para pemimpin militer (dalam PRRI) itu untuk tidak membangun sebuah negara Sumatera yang terpisah dari Republik Indonesia.
Dalam periode akhir pemerintahan Soekarno, Natsir yang bersikap kritis melawan konsepsi Demokrasi Terpimpin dan menentang koalisi politik Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) akhirnya dikarantina sebagai tahanan politik (1962-1966). Setelah bebas di masa Orde Baru, Natsir bersama beberapa tokoh seperjuangan di Masyumi melanjutkan perjuangannya dengan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Di lembaga inilah ia berkiprah hingga akhir hayatnya membangun masyarakat di kota-kota dan pedalaman terpencil.
Dakwah, menurut Natsir, melingkupi semua bidang kegiatan. Dia menegaskan, janganlah merasa kecil masuk organisasi yang hanya organisasi dakwah saja. Sebab, apakah namanya pembinaan pribadi, pembinaan keluarga, atau pembangunan masyarakat, pembangunan negara, pembangunan antar-negara, pembangunan antar-agama, semuanya sudah termasuk dalam ruang lingkup dakwah Rasulullah SAW. “Karena itu, melakukan dakwah artinya menuruti jejak Rasulullah SAW secara keseluruhan,” ujar Natsir.
Selama pemerintahan Orde Baru, Natsir dianggap sebagai pemimpin yang disegani sekaligus “dikhawatirkan” pengaruhnya oleh Pemerintah Soeharto. Ia tidak lengah mengamati berbagai persoalan yang langsung menyangkut nasib umat Islam baik dalam maupun luar negeri. Pemerintahan Soeharto mencekal Natsir dan sejumlah tokoh nasional yang menandatangani Pernyataan Keprihatinan yang terkenal sebagai “Petisi 50” pada 5 Mei 1980. Sejak saat itu Natsir praktis tidak bisa lagi menghadiri kegiatan konferensi internasional negara-negara Islam di luar negeri. Pencekalan itu dialami hingga dia wafat di Jakarta, 6 Februari 1993, dalam usia 84 tahun.
Dalam situasi demikian, Natsir mengisi hari-harinya dengan tenang, dan tidak pernah mengeluh. Ia tetap beraktivitas terutama sebagai ketua umum DDII. Bersama sahabatnya, KH Masjkur, mantan Menteri Agama, dan beberapa tokoh Islam lainnya, ia memprakarsai pembentukan Forum Ukhuwah Islamiyah. Selain itu, hubungan korespondensi luar negeri tetap ia lakukan selaku Wakil Presiden Muktamar Alam al-Islami (World Muslim Congress) dan anggota inti Rabithah Alam al-Islami.
Kegiatan dakwah Natsir tak pernah berhenti. Ia juga menulis dan memberikan masukan sekaligus kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Gayanya menulis dan berpidato halus, tenang dan tidak berapi-api sebagaimana kebanyakan pemimpin yang menghadapi banyak tekanan dan hambatan. Tapi di balik ketenangan dan kehalusannya itu, terdapat kekuatan semangat dan keteguhan pendirian yang luar biasa. Natsir memunyai pribadi mulia yang diakui oleh kawan maupun lawan politiknya.
Sebagai ulama intelektual, Natsir melahirkan pikiran-pikiran cemerlang yang tertulis, terucap, maupun dilakukan dengan amal. Pemikirannya tersebar dalam buku-buku dan artikel yang ditulisnya sebagai warisan kultural yang berharga bagi generasi masa kini. Salah satu karyanya buku Fiqh Da’wah menjadi karya monumental Natsir yang mengantarnya mendapat gelar doktor honoris causa dari Universiti Penang, Malaysia.
Natsir mengawali pendidikan di Hollands Inlandse School (HIS), Madrasah Diniyah di Solok, Mulo di Padang, Algemene Middelbare School Westers Klasieke Afdeling (AMS A2) Bandung. Ia kemudian meneruskan studi Islam di Persatuan Islam Bandung di bawah pimpinan A Hassan, serta Kursus Guru Diploma LO.
Pada 1980, saat menerima penghargaan internasional Malik Faisal di bidang pengkhidmatan kepada Islam dari ”King Faisal Foundation” di Riyadh, Saudi Arabia, Natsir berpidato antara lain, ”Sekarang kita menghadapi tantangan, setelah negara-negara kita merdeka. Sebab tujuan kita bukan hanya sekadar merdeka politis semata-mata. Tetapi benar-benar kembali kepada Allah dan kembali kepada Islam, baik bentuk, isi, tingkah laku maupun komitmen. Kita tidak akan berkecil hati menghadapi tantangan-tantangan itu. Sebab yang menimbulkan tantangan-tantangan tersebut terperosok dalam kegelapan. Dan ini hendaknya menjadi pendorong bagi kita untuk menyampaikan kepada mereka ’nur’ yang telah dianugerahkan Allah kepada kita. Cahaya yang menerangi kegelapan. Dan di bawah cahaya ini urusan dunia dan akhirat menjadi baik. Itulah cahaya Islam.”
Dalam sebuah wawancara dengan Jurnal Inovasi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1987, Natsir yang waktu itu berusia 79 tahun mengutarakan; ada tiga unsur lembaga pembinaan umat yaitu; masjid, pesantren, dan kampus. Apabila dipertemukan, niscaya akan menjadi modal utama pembinaan umat maupun pembangunan bangsa dan negara, entah di bidang ekonomi, pendidikan, budaya dan lainnya. [FR]