Oleh: Fathurroji NK
SUARAMASJID.com| JUMAT, 20 Januari 2017. “Dua golongan manusia, jika mereka baik, akan baik seluruh manusia, dan jika ia rusak, akan rusak seluruh manusia. Mereka adalah para ulama dan umara.” (HR Ibnu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya).
Hadits Nabi di atas menjadi pengingat kita sebagai umat Islam yang keberadaannya mayoritas di negeri ini. Bahwa suatu negeri akan baik jika ada nilai kesalehan para ulama dan keadilan umara (penguasa). Sebaliknya, kerusakan suatu negeri bergantung pada kerusakan para ulama dan keculasan penguasanya.
Ulama, sudah gamblang dipaparkan bahwa ulama pewaris para nabi dan penyambung lidah kebenaran mereka. Ulama mewariskan ilmu. Ilmu itulah yang kemdian disampaikan kepada manusia dari masa ke masa oleh ahli ilmu, yaitu ulama.
Ulama yang saleh, yaitu yang akhlaknya mulia, yang ucapannya sesuai dengan perilakunya. Ulama yang saleh, dakwahnya mengajak kepada amar makruf dan nahi munkar. Ia tidak canggung memberi nasihat dan peringatan, termasuk kepada penguasa sekalipun.
Ulama yang rusak adalah ulama yang ilmunya digunakan untuk membeli dunia, membantu penguasa dalam ketidakadilan. Ucapannya tidak sesuai dengan perilakunya. Pandai sembunyi dalam lipatan. Ia juga pandai menilai orang, tetapi tidak jujur menilai diri sendiri.
Ulama yang rusak mendekati penguasa demi harta dan penghargaan. Ia biarkan penguasa itu tetap dalam kezalimannya. Ia akan berfatwa ke mana angin bertiup sesuai dengan pesanan penguasa zalim. Ia menjual akhiratnya untuk dunianya. Ulama seperti inilah yang akan menjadi malapetaka terhadap hancurnya bangsa dan agama.
Sementara itu, umara atau penguasa adalah pemegang amanah Tuhan untuk rakyatnya. Hidup matinya rakyat tergantung pada kebijakan dan keputusannya. Di tangannya pula ditegakkan hukum dan peraturan demi ketenteraman umum.
Umara yang saleh adalah adil, amanah, dan bertakwa kepada Tuhannya. Ia bekerja untuk kepentingan rakyatnya di siang hari. Namun saat malam, ia bermunajat kepada Tuhannya untuk kemudahan beban kekuasaan itu.
Umara perusak adalah bermental penguasa. Segala hal seolah berada dalam kontrol dan kekuasaannya. Rakyat dibebani untuk menyejahterakan dirinya. Penguasa perusak selalu berburuk sangka terhadap rakyatnya yang kritis, membelenggu media yang tidak sepaham dengannya, dan menghukum berdasarkan dugaan. Kelakuannya menakuti rakyatnya dan jauh dari mensejahterakan.
Maka jelas apa yang disitir oleh Nabi Muhammad terkait hubungan keduanya, ulama dan umara. Jika hubungan antara keduanya baik, maka akan lahir kebaikan di muka bumi ini, sebaliknya jika buruk, maka akan ada kehancuran menanti.
Masih ingat, pada Rabu, 18 Januari 2017 lalu, Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar rapat Rapat Pleno ke-14 dengan tema “Kerjasama Ulama-Umara untuk Kemajuan Bangsa”.
Bukan tanpa sebab gelaran pleno ini dibuat MUI, pasalnya akhir-akhir ini situasi bangsa Indonesia sedang dalam kondisi memanas, pasca statemen yang dilontarkan Ahok terkait al-Maidah : 51 yang kemudian melahirkan protes dari umat Islam dengan beberapa kali aksi untuk menuntut keadilan pemerintah atas kasus penistaan ini. Seperti lahirnya Aksi 1410, Aksi 411, dan puncaknya Aksi 212 yang dihadiri 7.5 juta umat Islam di lapangan Monas.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin mengatakan, rapat pleno ini bertujuan mencari solusi atas maraknya pertentangan antar-kelompok masyarakat. Seluruh anggota dewan pertimbangan sepakat akan meningkatkan komunikasi dengan pemerintah dan mengedepankan dialog dalam menyelesaikan masalah kebangsaan tersebut.
Din mengakui, selama ini komunikasi yang berjalan hanya terjadi pada tingkatan antarindividu, sedangkan pada tingkat kelembagaan belum maksimal.
“Kita ingin dialog, ulama dan umara (pemerintah) terutama mencari solusi terhadap masalah terkini, masalah kebangsaan kita akhir-akhir ini menampilkan adanya pertentangan di tubuh bangsa ini,” paparnya.
Din menuturkan, pertentangan antar-kelompok yang terjadi mengakibatkan posisi umat Islam menjadi terpojok dengan adanya anggapan anti-keberagaman pascaaksi 411 dan 212. Sementara pemerintah dianggap lamban dalam memroses kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok.
Keadaan tersebut, tambah Din diperparah dengan adanya ketidakadilan dalam bidang ekonomi. Perekonomian umat Islam pada umumnya sedang terpuruk. Sementara pemerintah dinilai terlalu memberikan keistimewaan kepada pemodal besar dan konglomerat. Umat Islam terpuruk, tertekan dan tertuduh. “Umat Islam mengalami ketidakadilan,” kata dia.
Oleh sebab itu, Din meminta agar semua pihak, khususnya pemerintah, memandang umat Islam yang diwakili ormas Islam sebagai kekuatan strategis untuk membangun Indonesia.
Sementara Ketua Umum MUI Pusat, Dr KH Ma`ruf Amin menyampaikan kerisauannya terhadap fenomena saat ini yang membenturkan aqidah (Islam) dengan wawasan kebangsaan. Seolah kalau ulama, ustadz, dai banyak berbicara agama, maka itu dipandang, dicurigai sebagai anti-kebhinekaan, tidak pluralis, bahkan menolak Pancasila. Sebaliknya, jika bicara kebhinekaan, kemajemukan bangsa, Pancasila, maka yang terkait aqidah, harus dipinggirkan.
“Jangan kita atas nama kebangsaan mengorbankan aqidah, namun jangan pula atas nama aqidah kita mengorbankan kebangsaan kita. Aqidah, agama dan kebangsaan harus kita kelola bersama secara baik,” katanya di Gedung MUI, Jl. Proklamasi, Jakarta, Selasa siang (17/01/2017).
Upaya membenturkan, opini yang berkembang tentang Islam versus Pancasila marak muncul di media massa, terutama media sosial, lewat postingan yang bernuansa fitnah, adu domba, dengan berbagai informasi yang menyesatkan.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto dalam rapat pleno tersebut meminta agar MUI bisa menjadi mitra pemerintah dalam menghadapi segala bentuk ancaman nasional.
“Kehadiran MUI harus menjadi partner strategis pemerintah, menghindarkan masyarakat dari hal negatif. Maka memang perlu ada (peningkatan) koordinasi membuat negara ini aman,” ujarnya.
Wiranto juga memastikan pemerintah akan bersifat terbuka terhadap segala kritik dan aspirasi dari masyarakat. “Saya jamin pemerintah terbuka. Maka tidak boleh ada saling menyalahkan. Jika ada masalah harus dicari solusinya,” katanya.
Kita berharap, dari pertemuan di rapat pleno MUI ini memberikan hasil yang positif, dalam merajut kembali sinergitas antara ulama dan umara. Hadirnya Wiranto yang mewakili pemerintah di kantor MUI bisa menjadi titik awal memperbaiki jalinan hubungan antara ulama dan umara.
Kita tidak ingin, apa yang terjadi di sebagian negara yang masih mendapati ulama dan umara berada sisi yang saling berseberangan. Para pemimpin suatu negara atau pemerintah menjadi rintangan dan tantangan terbesar bagi ulama dan gerakan Islam dalam menyebarkan dakwah. Ini adalah hal yang sangat tidak kita inginkan.
Sekali lagi, melalui tulisan ini saya ingin menekankan, bahwa ulama dan umara harus saling berdekatan dan bahu-membahu membangun umat dan menyebarkan kebaikan kepada umat manusia.
Kedekatan ulama di sisi umara tidak sertamerta mengamini apa yang dilakukan umara, melainkan menjadi pendukung di saat berada di jalur yang benar, dan menjadi penasehat terbaik di saat berada di jalan yang salah. Menjadi penopang agar semakin kokoh, dan menjadi pelurus bila ada kebengkokan pada umara.
Penulis berharap, melalui catatan Jumat kali ini, Allah berikan keberkahan terhadap negeri makmur ini, dengan hadirnya ulama dan umara yang hanya takut kepada Allah. Sinergi yang baik antara ulama dan umara akan menjadi langkah maju dalam membangun Indonesia yang beradab. [FR]