Hadirnya dua menara kembar di Masjid Raya Bandung semakin menambah eksotik masjid yang berdiri di sebelah barat alun-alun Bandung. Konon, sejak pembangunannya pada tahun 1810 sudah mengalami sedikitnya tujuh kali perombakkan.
Tahun 1910, pemerintah Belanda membeli tanah milik cikal bakal penduduk Dago yang sekarang berlokasi di Dago Simpang. Jumlah uang yang dibayarkan untuk pembebasan lahan tersebut sebesar 3.500 gulden. Konon kisahnya, saking banyaknya uang, para penduduk membagi uang dalam waktu sehari semalam dalam selembar sarung bantal untuk uang kertas dan selembar sarung bantal lainnya untuk uang recehan logam.
Dalam situs mahanagari disebutkan, kehadiran uang 3.500 gulden membuat penduduk tidur tak nyenyak. Semalaman mereka siskamling, bersenjatakan tombak, golok, dan gegendir. Semakin malam suasana makin mencekam, sunyi jadi terasa ngeri.
Ketegangan itu segera cair, ketika penduduk mendengar suara kentongan Masjid Agung di Alun-alun yang menandakan waktu Shubuh sudah tiba. Dahulu kala, suara kentongan dari masjid tersebut bisa terdengar jauh hingga Sukajadi, Wastukencana, SIliwangi, Tegalega, dan Daerah RS. Hasan Sadikin sekarang.
Hingga saat ini Masjid Agung masih berdiri di Alun-alun Bandung. Sayangnya wujud asli Masjid Agung sudah tidak terlihat lagi. Pada abad 19 masjid ini mengalami 3 kali perombakan dan 4 kali perombakan pada abad 20, dan sekali renovasi besar-besaran di abad 21.
Awalnya, sekitar tahun 1812 Masjid Agung hanya berbentuk bangunan panggung tradisional yang sederhana, terbuat dari bambu dan beratap rumbia. Atapnya belum berbentuk nyuncung (mengerucut seperti gunungan). Hanya kolam air yang luas sebagai tempat berwudhu yang ada di halaman depan, yang jadi pertanda bangunan ibadah itu. Tahun 1825 terjadi kebakaran besar di sekitar Alun-alun, air kolam tersebut berperan besar dalam menyelamatkan Masjid Agung. Setahun kemudian, bilik dan bambu Masjid Agung diganti dengan kayu.
Tahun 1850, bangunan ibadah itu mengalami perombakan. Kayu diganti dengan batu. Atapnya menggunakan genting. Memasuki tahun 1900, keberadaan Masjid Agung menjadi lengkap dengan ciri khusus seperti masjid tradisional, antara lain beratap tumpang susun tiga (atap Nyuncung), kolam, bangunan menghadap Timur, makam, dan tidak bermenara.
Tahun 1930, terjadi penambahan pada bangunan masjid. Yaitu sepasang menara pendek di kanan-kiri bangunan. Sejak tahun itu pula, bangunan sekeliling Alun-alun didirikan semacam benteng atau tembok berlubang dengan ornamen khas gaya Priangan. Motif pada tembok itu adalah sisik ikan hasil rancangan Maclaine Pont, arsitek yang merancang Aula Barat ITB. Di tahun 1910-1930 inilah Masjid Agung menduduki masa jayanya, ketika dipimpin ulama yang juga sastrawan dan filosof Hoofd Penghulu Bandung Haji Hasan Mustafa.
Saat itu, Masjid Agung menjadi pusat ibadah dan sosial penduduk kota. Gaung kentongan dan bedugnya masih terdengar di seantero penjuru kota. Masjid menjadi tempat merayakan Mauludan, Rajaban, Shalat Ied dan belajar mengaji. Ia juga menjadi tempat baitul mal yang menerima zakat fitrah dan mengurusi kesejahteraan umat. Istilah ke `Bale Nyungcung` orang berakad nikah, juga sangat terkenal pada saat itu.
Sehubungan dengan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, Masjid Agung lagi-lagi mengalami perombakan besar. Tampilan masjid bagian depan diubah. Kedua menara dibongkar dan serambi diperluas. Sebuah menara tunggal didirikan di halaman depan masjid sebelah selatan.
Perubahan drastis terjadi pada bentuk atap bangunan utama. Masjid yang sejak pertama berdiri terkenal dengan julukan “Bale Nyuncung” karena bentuk atapnya, kini berganti beratapkan kubah model “bawang’ dengan gaya timur tengah rancangan Soekarno. Kubah yang menyerupai bawang ini bertahan selama 15 tahun. Tahun 1970, perombakan kembali terjadi.
Bentuk menara nyuncung ini mengingatkan kita pada bentuk atap “meru” atau “pagoda”. Menurut Dr K Hidding dalam buku Semerbak Bunga di Bandung karya Haryoto Kunto menyebutkan, bentuk dan gaya arsitektur atap masjid di Indonesia yang lancip-runcing ke atas, melambangkan “gunungan-suci”. Menara tersebut disebut sebagai bangunan tradisional di Jawa.
Bentuk arsitektur tradisional masjid di Jawa, pada umumnya meniru masjid Demak yang didirikan para wali. Dalam buku Meinsma, penerjemah, “Babad Tanah Djawi”, 1941 diceritakan, Sultan Mataram memerintahkan membangun masjid yang modelnya seperti masjid Demak. Padahal menurut Thomas Stamford Raffles (1830), bangunan masjid Demak masih mengambil unsur arsitektur Hindu dari Majapahit. Masjid Agung Bandung sendiri dulu mengambil model Masjid Agung Mataram yang mengacu pada arsitektur Hindu dan Islam.
Memasuki tahun 2000-an, akhirnya bangunan Masjid Agung secara resmi berubah nama menjadi Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat. Penduduk masih menyebutnya sebagai Masjid Agung. Tahun 2003, perombakan yang menelan biaya sebesar Rp 36 miliar rampung dilakukan. Bentuk masjid benar-benar baru. Perombakan dan renovasi yang dilakukan sejak awal berdirinya, 24 September 1810 silam ini tak menyisakan wajah asli Masjid Agung.
Meski demikian, fisik Masjid Raya Bandung terlihat megah di banding sebelumnya. Tak hanya bangunan fisik. Interior masjid pun terkesan mahal. Salah satunya terlihat dari ornamen pintu masuk. Pintu lebar nan tinggi itu dihiasi ukiran rumit berwarna coklat muda yang cukup elegan. Interior tersebut menjadi pasangan serasi pilar yang berjejer sepanjang koridor masjid.
Alun-alun Bandung yang berada di depan Masjid Raya Bandung ikut direnovasi. Bentuk kursi taman hingga air mancur disesuaikan dengan bangunan fisik masjid. Ukuran tamannya sendiri cukup luas. Pemerintah Kota Bandung sengaja membuat konsep seperti itu untuk mengembalikan nilai alun-alun sebagai ruang publik seperti dahulu kala. Di bawah taman terdapat lantai basement yang digunakan tempat parkir.
Yang unik dari Masjid Raya Bandung adalah dua menara kembar yang mengapit bangunan utama masjid. Menara ini dijadikan tempat wisata. Hanya dengan membayar sekian rupiah, jamaah bisa naik ke lantai menara paling atas yakni lantai 19. Di atas pengunjung dapat menikmati pemandangan 360 derajat kota Bandung. Dari sini pulalah, pengunjung bisa melihat wajah kota Bandung kini yang penuh sesak dengan berbagai deretan bangunan komersil, hunian, pabrik, dan pohon yang semakin terkucilkan.
Kegiatan Masjid Raya Bandung
Dulu, setiap perayaan maulud Nabi dan hari akhir Ramadhan, selalu diadakan prosesi arak-arakan dari pendopo kabupaten menuju Masjid Agung Bandung. Peserta arak-arakan tak hanya rakyat biasa. Bupati serta pejabat lainnya ikut meramaikan acara. Mereka membawa beberapa gunduk “congcot nasi” (tumpeng) dilengkapi berbagai macam makanan dan buah-buahan. Makanan itu diletakkan dalam jolang untuk kemudian didoakan ulama. Begitu doa selesai, warga menyerbu congcot.
Kini, arak-arakan itu sudah tak ada lagi. Meski demikian bukan berarti masjid sepi kegiatan. Letak masjid yang berada di tengah pusat perbelanjaan, pertokoan, perkantoran dan pusat ekonomi lainnya membuat masjid ramai akan hiruk-pikuk orang. Tak hanya orang yang niat untuk beribadah. Namun orang-orang yang sekedar beristirahat menghilangkan lelah juga ada.
Ramainya orang di seputaran Masjid Raya Bandung, membuat PKL makin menjamur. Tak hanya di Alun-alun yang berada di depan masjid, namun koridor masjid pun penuh dengan PKL dan mengambil lahan pejalan kaki. Akibatnya masjid sesak dengan orang yang jualan, makan, kesan kumuh pun sangat terlihat. Bahkan sepintas, halaman masjid tak ubahnya seperti pasar kaget. Seharusnya, PKL ini berada di basement masjid, berdampingan dengan tempat parkir. Namun sampai sekarang, penataan PKL tersebut belum terlaksana.
Bagaimanapun, Masjid Raya Bandung ini menjadi simbol spiritual di tengah hiruk-pikuk di kawasan niaga dan perkantoran di seputar jalan Dewi Sartika-Kepatihan-Dalem Kaum-Asia Afrika.
Banyaknya gedung yang mengelilingi masjid seolah masjid ini terkepung oleh bangunan-bangunan. Karena itulah, ketika Masjid Raya mulai direnovasi besar-besaran pada awal tahun 2000-an, pemerintah daerah dan tim perancang masjid sepakat masjid ini harus tampil megah, indah, luas, nyaman, dan yang lebih penting punya kesan spiritual islami yang tinggi.
Renovasi masjid ini sangat diperlukan agar masjid ini tidak terisolasi oleh banyaknya gedung pertokoan di sekitarnya. Maka, dibuatlah dua menara kembar, masing-masing setinggi 81 meter. Dua menara ini tegap menjulang di dua sisi gedung utama masjid. Menara kembar ini sebagai tanda utama keberadaan Masjid Raya Bandung.
Kehadiran Masjid Raya Bandung dengan konsep dan rancangan baru sudah lama diharapkan masyarakat. Letaknya di pusat kota, membuat masjid ini sangat dibutuhkan banyak orang yang ingin shalat atau sekadar istirahat.
Dengan luas hampir 2 hektar, Masjid Raya Bandung bisa menampung sekira 12.500 jamaah. Padahal sebelum diperluas dan direnovasi, masjid ini hanya bisa menampung sekira 4.500 jamaah. Selain digunakan untuk ibadah shalat, masjid ini pun seringkali digunakan untuk sejumlah kegiatan keruhanian. Di antaranya pengajian, konsultasi agama, pelatihan imam dan khatib, dan kursus baca tulis al-Qur’an.
Masjid ini juga menyelenggarakan kegiatan hasil kerja sama dengan pihak luar. Misalnya pelatihan salat khusyuk. Kajian ini dilakukan setiap Rabu pukul 19.00 WIB. Selain itu, ada pengajian ibu-ibu, bapak-bapak dan remaja, mulai dari kajian tafsir, bahasa arab hingga fiqih. Pesertanya berasal dari berbagai daerah di antaranya Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Bandung Barat dan Kota Cimahi.
Sesekali masjid pun menggelar mabit. Sebagai masjid provinsi, masjid ini merupakan salah satu penerima dana bantuan APBD, sehingga kegiatan religi pemerintahan sering digelar di sini. Begitupun dengan kegiatan besar keagamaan, masjid ini menjadi tempat pusat kegiatan. Termasuk saat pembagian hewan qurban.
Beberapa fasilitas pendukung tersedia di masjid ini, seperti tempat wudhu dan peturasan yang nyaman, koperasi, kantin, dan tempat parkir. Untuk memelihara masjid dan melayani jamaah, kini Masjid Raya dikelola puluhan pengurus.
Setiap pagi dan menjelang senja, halaman Masjid Raya Bandung selalu diwarnai dengan berbagai aktivitas masyarakat, seperti olahraga, bermain, berfoto-foto dan juga sekadar jalan-jalan santai. Maklum, halaman masjid ini langsung menyatu dengan taman Alun-Alun Bandung, yang di beberapa sudutnya terdapat kolam, tanam-tanaman, dan juga bangku-bangku untuk istirahat. [fathur]