Oleh: Jhihad Susi Lestari Widodo (Mahasiswi STEI SEBI Semester
Lingkaran tabib yang dimaksud tidak lain adalah Liqo, Halaqoh, Mentoring. Atau apapun sebutan yang kita kenal dengan definisi pertemuan antara murabbi dan mutarabbinya dengan tujuan meningkatkan keimanan dan mengkaji ilmu – ilmu agama islam. Sedangkan anarki akal dan hati disnii adalah gejolak fluktuasi iman manusia yang sudah tidak dapat dipungkiri naik turunnya, juga aktivitas logika yang terkadang membawa pada keangkuhan diri.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Sesungguhya Allah memiliki bejana di muka bumi-Nya, yaitu hati. Maka, hati yang dicintai-Nya adalah hati yang paling lembut, jernih, dan kukuh. Kukuh dalam agama, paling jernih dalam keyakinan, dan paling lembut kepada saudara” (Yakan, 2017).
Hati dan akal merupakan sumber dari segala perilaku manusia. Ketika hati menyatakan kemauan (‘iradah) dan akal mendukung atas logika dan kemampuannya,, maka perintahnya pun akan direspon oleh tubuh selaku sang eksekutor. Dari berlari, jalan, menulis, berkata, melihat, megambil, dan banyak lagi kegiatan yang memiliki sisi baik dan buruknya. Dimana semua kegiatan tersebut juga memiliki dampak terhadap diri kita sendiri dan orang lain. Dengan begitu, hati yang lembut, jernih dan kokoh disandingkan dengan akal yang cerdas, positif, dan bijksana, akan menghasilkan perilaku yang baik, dan begitu pula sebaliknya. Namun, apa jadinya jika hati yang lembut, jernih dan kukuh tidak diimbangi dengan kecakapan ilmu dalam akal ataupun sebaliknya ?.
Dalam lingkaran tabib kita dibina untuk semantiasa melembutkan hati. Melepas sejenak baju baja dan mengosongkan cawan demi terpenihunya bekal kehidupan mendatang. Obat yang dapat melunakkan hati dan mempertajam akal akan menghasilkan pribadi – pribadi Rabbani di masa depan, dengan begitu kekukuhan iman dan islam dapat dijunjung. bukan hanya dengan ketaatan tapi juga dengan kecerdasan. Berawal dengan pembangunan karekter individu dan bervisi pada masyarakat yang madani, lingkaran tabib ini bahkan mampu menguubah suatu peradaban jika diimbangi dengan konsistensi dan ketakwaan. Lihatlah bagaimana Rasulullah membangun peradaban jazirah arab yang jahiliyyah (bodoh) dengan menanamkan benih- benih iman dan ilmu pada beberapa Assabiqunal Awwalun di rumah Arqam bin Abi Arqam, dimana 23 tahun kemudian mereka dapat membangun peradaban islam pertama di Madinah. (Al-Mubarakfuri, 2014)
Kurang dari 3 dekade, berhasil membangun peradaban dengan sepak terjang bangsa arab yang terkenal akan kerasnya. Bukan dengan yang lain melainkan hati dan akal yang di bekalkan Allah pada Rasulnya ,
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya laksana hujan deras yang menimpa tanah. Di antara tanah itu ada yang subur. Ia menerima air lalu menumbuhkan tanaman dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah kering yang menyimpan air. Lalu Allah memberi manusia manfaat darinya sehingga mereka meminumnya, mengairi tanaman, dan berladang dengannya. Hujan itu juga mengenai jenis (tanah yang) lain yaitu yang tandus, yang tidak menyimpan air, tidak pula menumbuhkan tanaman. Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah, lalu ia mendapat manfaat dari apa yang Allah mengutus aku dengannya. Juga perumpamaan atas orang yang tidak menaruh perhatian terhadapnya. Ia tidak menerima petunjuk Allah yang dengannya aku diutus.” [HR. Bukhari & Muslim]
Anarki hati dan akal yang tak selaras akan mengakibatkan kehancuran. Seperti cerdasnya professor yang telah menciptakan bom atom, yang dengan keji meluluh lantahkan Hiroshima dan Nagasaki, Cerdiknya filsuf ataupun politukus pada zaman perang dunia dengan ideologinya, yang dengan kejam membunuh jutaan manusia. Atau kebaikan yang tak didampingi dengan kecakapan ilmu, seperti baik dalam beramal namun tidak mengerti ilmunya ataupun esensinya. Baik dalam berperilaku tapi tidak bermanfaat banyak bagi sekitarnya. Atau sekedar memiliki kemauan hati berbuat baik namun tidak mengerti caranya, sehingga mengurungkan kembali niat tersebut.
Dalam kaidah dakwah disebutkan, “Tempatkanlah manusia berdasarkan kecakapannya, dan bicaralah sesuai dengan kadar pengetahuannya”. Disini terlihat dengan jelas bahwa kebaikan hati dan kebijaksanaan akal, yang menghasilkan akhlaq terpuji akan senantiasa memuliakan manusia di dunia dan akhirat. Dengan senantiasa berbenah hati dalam majelis tabib akan membuat iman kita kokoh dan akal kita terasah dalam menghadapi tantangan dakwah di masa depan. Tak perlu jauh ke masa depan, tantangan itu pun sudah ada di depan mata, pergaulan bebas, konten negatif, kebobrokan masyarakat, belum lagi perseteruan Negara yang masih sibuk berperang dan saling menginvaasi.
Dalam lingkaran tabib kita erumuskan obatnya, obat dari segala kekacauan di dalam diri dan masyarakat pada umumnya. Mengemban amanah langit untuk menjadi khalifatul Ard yang bijaksana. Dengan hati dan akal yang mumpuni, seorang muslim akan senantiasa menghidari sikap extrim dan berlebihan ataupun sikap mengentengkan perkara. (Yakan, Yang Berjatuhan di Jalan Dakwah, 2007) Ia akan teguh dalam pergaulan heterogen, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, mengerti bagaimana memposisikan diri, dan paham apa yang harus ia lakukan atau katakan. Dengan begini secara otomatis ia akan dihormati dan di dengar. Melalui inilah ia dapat memulai ajakan atau dakwah secara perlahan sesuai dengan kadar kemampuan lingkungannya.
Karena dakwah adalah seni dan strategi yang diemban seumur hidup, dan kita hidup dalam zaman yang selalu berubah. Maka, lingkaran tabib ini sangat diperlukan untuk sekedar mengobati sayat dalam baju besi. Atau memoles nya lagi untuk kelancaran dalam perjalanan selanjutnya. Disamping itu, inilah tempat dimana peradaban Rabbani itu dirancang, ditanamkan benih-benihnya pada setiap individu mutarabbi.
Dan bukankah sering kita menggalaukan hati dan meragukan pikiran?. Itulah anarki dalam diri yang perlu diketuk lagi, dan lagi. Jangan hanya mengunggah keluh dalam status sebagai informasi ketidakberdayaan diri. Lebih baik jika berkeluh pada kawan dan saling menegur hati untuk lebih kuat lagi. Karena lagi, hati senantiasa perlu dilembutkan dari bekunya dan Akal perlu diasah dari tumpulnya. Stop baperan, mari berperan, dalam lingkaran tabib ini kita benahi peradaban.[]