Mbah Muchit, demikian panggilan akrabnya. Pria kelahiran Tuban 4 Desember 1925 ini banyak berkiprah dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Ia bahkan dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan NU untuk kembali ke khitahnya, perjuangan keagamaan, meninggalkan dunia politik praktis pada tahun 1984.
Sosok yang memiliki nama lengkap Abdul Muchit Muzadi ini hidup dalam keluarga terpandang saat itu. Ayahnya, Muzadi adalah sosok pedagang tembakau sukses. Ibunya, Rumiyati adalah sosok ibu yang penuh kasih sayang.
Muchit muda hidup dalam suasana bangsa ini memanas. Masa penjajahan membuat pola pikir dan sikap nasionalisme yang tinggi mempengaruhi kepribadiannya. Ia banyak belajar di beberapa pesantren, seperti di Kulon Banon Kajen di bawah asuhan KH. Nawawi, selain itu juga berguru kepada KH. Salam, ayahnya KH. Sahal Mahfudh. Tak hanya itu, Muchit muda juga berguru kepada KH. Hasyim Asyari di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang .
Selama mondok, ia tidak hanya belajar agama, tapi juga belajar berorganisasi. Karena itu, pada tahun 1941, diusianya yang masih 16 tahun ia telah menjadi anggota NU. Selama berorganisasi, ia juga banyak mengenal beberapa santri dari daerah lain, diantaranya Achmad Shidiq.
Meski ia tidak termasuk kader khusus NU yang dikelola KH. A. Wahid Hasyim, ia tetap mau banyak belajar pada peserta kader, ia banyak menyerap ilmu organiasasi dari para kader. Kemampuan itu yang dijadikan bekal untuk memasuki dunia luar pesantren, yang selanjutnya ia banyak berkiprah dalam berbagai profesi.
Setamat dari Tebuireng ia kembali ke kampung halamannya di Tuban dan mendirikan Madrasah Salafiyah (1946). Meskipun sebagai guru, Muchit muda tetap berkiprah dalam perjuangannya mengusir penjajah dengan cara masuk laskar Hizbullah. Bahkan ia sempat dijadikan sebagai kepala kompi yang memimpin 60 anggota di markas Bangilan yang masih dalam Batalyon Bojonegoro yang dipimpin H. Romli.
Kiprahnya di gerakan lascar tak bertahan lama, ketika ada rasionalisasi Hizbullah oleh TNI pada tahun 1947, Muchit memilh untuk keluar karena merasa tidak nyaman dan jiwanya lebih condong di dunia pendidikan Islam. Akhirnya, ia merintis beberapa sekolah diantaranya, Sekolah Menengah Islam, Madrasah Muallimin Nahdhotul Ulama dan lain sebagainya.
Kiprahnya di dunia pendidikan mulai meningkat ketika tahun 1961, ia mendapatkan tugas sebagai pegawai di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, kesempatan itu ia gunakan untuk belajar lagi dengan mengikuti kuliah di Universitas Cokroaminoto. Selama di dunia kampus, ia menemukan ide-ide pembaharuan.
Ketika ia mendapatkan tugas di IAIN Malang tahun 1963, ia sempat merintis SMP NU. Begitu juga ketika di IAIN Sunan Ampel Jember ia juga mendirikan Madrasah Tsanawiyah. Di seluruh sekolah yang rintis, ia bertindak sebagai kepala sekolah.
Saat ia mendapatkan tugas di IAIN Sunan Ampel Jember rupanya sebuah beberuntungan tersendiri buatnya, sebab disana ia bertemu dengan sahabat seperguruannya yang mengasuh pesantren besar di Jember, yaitu KH. Achmad Shidiq. Dengan demikian ia menemukan partner diskusi yuang seimbang dan sekaligus guru yang bisa diteladani. Masa-masa itu yang semakin mematangkan pemikirannya, sehingga banyak lahir pemikiran keislaman yang ia tulis.
Suatu ketika, sahabatnya menjadi Rais Am Syuriyah PBNU, maka saat itu ia dituntut untuk membuat rumusan konseptual mengenai Aswaja, menuntaskan hubungan Islam dengan negara dan mencari rumusan pembaruan pemikiran Islam, serta strategi pengembangan masyarakat NU, maka sahabtanya semakin membutuhkan pemikiran Mbah Muchit. Karenanya ia diangkat sebagai sekretaris yang sekaligus penasehat pribadinya.
Tahun 1984 ketika ada Muktamar NU di Ponpes Salafiyah syafi’iyyah Sukorejo, Situbondo, Mbah Muchit melontarkan gagasan konsep Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ kembali ke khitahnya, yaitu ke kancah perjuangan keagamaan, meninggalkan dunia politik praktis.
Sejak diputuskan kembali ke khithah, kesibukan Mbah Muchit bertambah, karena ia yang tak henti menyosialisasikan kepada masyarakat tentang khithah NU.
Kecintaannya terhadap Nahdlatul Ulama, bisa dilihat dari keterlibatan aktif Mbah Muchit organisasi Nahdlatul Ulama, seperti menjadi Sekretaris GP. Ansor Kota Yogyakarta (1961-1962), Sekretaris GP Ansor Cabang Kabupaten Malang, Sekretaris Cabang NU Jember (1976-1980), Wakil Ketua Cabang NU Jember (1976-1980), Pengurus LP Ma’arif NU Jawa Timur (1980-1985), Wakil Rois Syuriyah NU Jawa Timur ( 1985-1990), Rois Syuriyah PBNU (1989-2004), dan Mustasyar PBNU (2004-2009)
Tepat pada hari Ahad 06 September 2015 pukul 05.00 pagi hari, Mbah Muchit menghembuskan nafas terakhir berpulang menuju Sang Pencipta, Ilahi Rabbi. Semoga amal ibadah, usaha, jasa-jasanya diterima di sisi-Nya dan ditempatkan di tempat orang-orang yang Allah Ridhoi. [FR]