SUARA MASJID | Jakarta-Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi sudah dua kali menutup akses ibadah haji untuk warga negara asing, imbas kondisi pandemi virus corona yang belum terkendali. Alhasil tidak ada jemaah haji dari negara asing termasuk jemaah haji Indonesia pada musim haji 2020 dan 2021 lalu.
Jika mengacu kalender hijriah dan asumsi normal, jemaah haji 2022 akan diberangkatkan pada 4 Dzulhijjah 1443 H atau 5 Juni 2022 mendatang. Namun hingga medio Februari 2022, pemerintah Indonesia belum mendapatkan kepastian dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengenai penyelenggaraan haji 1443 H/2022 M.
Meski begitu Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sudah mulai membahas biaya haji 2022. Dalam hal ini Menag RI Yaqut Cholil Qoumas saat rapat dengan Komisi VIII DPR, Rabu (16/2/2022) mengusulkan, biaya haji atau biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) 1443/2022 (haji reguler) menjadi Rp 45.053.368. Bipih 2022 diusulkan naik Rp 1 juta dibandingkan 2021, naik Rp 10 juta dibandingkan 2019.
Usulan kenaikan Bipih 2022 itu kemudian direspon oleh banyak pihak. Salah satunya dari Center of Theorizing on Islamic Economics and Finance (CTIEF) melalui founder nya, M. Arief Mufraini memaklumi jika pemerintah mengusulkan biaya haji atau Bipih 2022 naik menjadi Rp 45 juta. Karena baginya biaya haji senantiasa mengalami penyesuaian merupakan fenomena yang terjadi dari waktu ke waktu, seiring dengan perubahan kondisi perekonomian, faktor inflasi, perubahan nilai mata uang dan biaya hidup jemaah haji.
Sebelum pandemi Covid-19, misalnya, terakhir kali Indonesia menyelenggarakan ibadah haji tahun 2019. Rata-rata biaya haji tahun 2019 sekitar Rp 35,2 juta perjemaah. Sama seperti tahun 2019, biaya haji 1441/2020 rata-rata Rp35.235.602,00. Selanjutnya pada tahun 2021 biaya haji mengalami kenaikan menjadi Rp. 44,3 juta. Adalah biaya haji terdiri dari direct cost (setoran awal dan pelunasan) dan indirect cost (optimalisasi setoran awal yang dibayar jemaah haji selama masa tunggu). “Dari Bipih ini sebetulnya jemaah haji hanya membayar setengah (half cost) dari total biaya sesungguhnya yang dikelola oleh pemerintah (Kemenag dan BPKH),” paparnya.
Lanjut Arief mengingatkan, pada tahun 2019 pula total biaya yang sesungguhnya dibayar perjemaah sebesar Rp 70-72 juta, tapi uang yang dibayar oleh jemaah haji rata-rata Rp 35 juta (setoran awal Rp 25 juta dan pelunasan Rp 10 juta). Rp 35 juta yang merupakan gabungan dari setoran awal dan pelunasan disebut direct cost. Sedangkan selisih dari total biaya haji dikurangi direct cost (misal Rp 70 juta – 35 juta = 35 juta), yaitu Rp 35 juta disebut indirect cost. Indirect cost ini ditentukan berdasarkan kesepakatan Bipih.
Adapun ketentuan penetapan indirect cost (optimalisasi investasi setoran awal selama masa tunggu) yang dapat digunakan untuk menambahkan direct cost menuntut adanya kenaikan Bipih. Misalnya, direct cost Rp 35 juta (setoran awal Rp 25 juta dan pelunasan Rp 10 juta misalnya). “Kalau ternyata indirect cost atau hasil investasinya tidak cukup untuk menutupi angka menuju Rp 70 juta, menuntut adanya peningkatan jumlah yang harus disetorkan oleh masyarakat. Jadi kalau direct cost tidak bisa naik, indirect cost yang dinaikkan,”ujarnya.
Lebih lanjut Arief menjelaskan, karena kebijakan penetapan biaya haji bersentuhan dengan calon jemaah haji (masyarakat), penyelenggara negara (Kemenag dan BPKH) dan pembuat kebijakan politik (DPR), maka wajar jika ada perbedaan nalar dan kesenjangan titik kepentingan (asymmetrical point of importence). Pertama, dalam nalar dan kepentingan calon jemaah haji, biaya haji adalah bagian dari usaha menunaikan ibadah haji, maka kepentingannya bagaimana mereka dapat menunaikan ibadah haji dengan aman, nyaman dan murah.
Kedua, bagi penyelenggara negara (Kemenag dan BPKH) dana haji dipandang sebagai barang publik, karena itu membutuhkan aturan yang dapat menempatkannya dengan pas di tataran penyelenggaraan negara. Penyelenggara negara juga berkepentingan untuk menjaga dana dengan jumlah besar tetap aman, sehingga secara tidak langsung dapat berfungsi sebagai penyangga ekonomi negara. Meski pada saat yang sama, juga ada potensi dampak sistemik bagi keuangan negara bahkan stabilitas politik dan negara, jika tidak dikelola dengan profesional dan benar.
Ketiga, bagi para politikus, anggota DPR misalnya, dana haji memiliki tempat amat penting karena berkaitan dengan reputasi partai pendukungnya di mata umat Islam yang merupakan mayoritas masyarakat Indonesia. Kepentingan ini yang kemudian menjadi dasar berbagai sikap dan kebijakan yang dikeluarkan termasuk dalam hal penetapan setoran biaya haji per tahun dan tuntutan kepada penyelenggara haji untuk terus meningkatkan pelayanan.
Kondisi tersebut tentu berdampak pada BPKH sebagai pengelola dana haji yang memiliki pengetahuan cukup akan kebutuhan dan kondisi dana haji, dalam menetapkan besaran yang sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan ibadah haji. “Tuntutan untuk terus meningkatkan layanan juga menambah tekanan bagi penyelenggara haji, karena peningkatan kualitas layanan berbanding lurus dengan peningkatan harga,”pungkasnya. [fro]