Kekerasan terhadap anak kian massif. Komisi Nasional Anak (Komnas Anak), mencatat 21.689.797 kasus kekerasan terhadap anak. Berdasarkan data dan laporan yang diterima dalam dalam empat tahun terakhir (2010 hingga 2014) sebanyak 21.689.797 kasus tersebut terjadi di 34 provinsi dan 179 kabupaten/kota.
Ketua Komnas Anak Arist Merdeka Sirait menyatakan, sebanyak 42 hingga 58 persen dari pelanggaran hak anak tersebut merupakan kejahatan seksual, selebihnya kekerasan fisik, penelantaran, penculikan, eksploitasi ekonomi, perdagangan anak untuk eksploitasi seksual komersial serta kasus-kasus perebutan anak.
“Komnas PA sebagai lembaga dibidang promosi dan perlindungan anak di Indonesia mengajak peran, keterlibatan masyarakat untuk menggalang aksi koalisi masyarakat menentang segala bentuk eksploitasi, penelantaran, penganiayaan, kekerasan terhadap anak,” ujarnyanya.
Dari seluruh kasus pengaduan tersebut, sebanyak 82 persen korban berasal dari keluarga menengah ke bawah. “Jadi sejak lima tahun lalu kasus bully sudah terjadi di lingkungan sekolah,” ujarnya.
Anak yang sering menerima tekanan atau siksaan emosional cenderung mengalami kesehatan jiwa buruk, sama seperti anak yang mengalami siksaan fisik atau seksual. Kekerasan secara psikologis ini namun jarang diungkap dalam program-program yang bertujuan mengobati anak yang jadi korban.
Menurut psikolog RS Internasional Bintaro, dra Ninik Bawani Psi, kekerasan pada anak bermula dari rumah: jangan pernah menganggap wajar tindak kekerasan. Kita pasti pernah melihat anak saling pukul dengan saudara maupun teman sepermainan. Sebagian orangtua menganggapnya hal yang wajar.
Jangan salah, perilaku ini harus disikapi dengan hati-hati.”Orangtua seharusnya waspada jika anak menunjukkan gejala-gejala melakukan kekerasan. Jika dibiarkan, dia bisa menganggap perilakunya wajar. Akhirnya, kita membantu menciptakan pribadi yang agresif saat dia besar nanti,” papar Ninik.
Ninik menjelaskan orangtua harus menjadi contoh dalam menyelesaikan masalah. Sebab apa yang dilakukan orangtua akan mudah ditiru oleh sang anak. Jadi jauhkan diri dari sikap yang mengedepankan kekerasan.
”Anak kan masih dalam tahap belajar, bisa dari lingkungan sekitar atau perilaku orangtua. Jika dia terbiasa melihat orangtua memperlakukan anak dengan kekerasan, maka anak akan mengira bahwa tindakan itu benar. Dia cenderung melakukan hal yang sama,” papar Ninik.
Jika anak bersalah berikan hukuman yang sifatnya edukatif seperti time out. Berikan ’perhatian positif’ tidak hanya ’perhatian negatif’. Artinya, ketika anak berbuat positif, berikan rewards atau hadiah berupa pujian maupun materi. Tidak hanya perhatian penuh saat dia berulah.
Pemberian reward sangat penting, agar anak merasa dihargai dan sadar bahwa dia sebenarnya memiliki sisi positif. Anak dengan harga diri yang rendah bisa mempunyai kecenderungan untuk berperilaku agresif.
Selain itu juga membatasi anak menonton acara televisi yang tidak mendidik dan menayangkan kekerasan. Dari berbagai kasus kekerasan di sekolah, pelaku ternyata meniru adegan di televisi. Seperti smack down, atau sinetron yang banyak menampilkan adegan kekerasan.”Dampingi anak saat menonton televisi. Berikan penjelasan tentang acara yang tengah ditontonnya. Seleksi acara yang memang khusus untuk konsumsi anak. Untuk hal ini Anda harus tegas, demi perkembangan jiwa dan mental anak,” ucapnya.
Tangani sedini mungkin ketika anak mulai menunjukkan tanda-tanda melakukan kekerasan. Anak yang cenderung melakukan kekerasan, biasanya mempunyai tanda-tanda tertentu yang bisa dikenali sejak awal. Seperti: Suka menyiksa binatang, melakukan kekerasan terhadap anak yang lebih kecil, mulai meneror hingga mencederai secara fisik, merusak mainannya baik dibanting, dan lain sebagainya.
Jika melihat keadaan seperti ini, Ninik menyarankan agar orangtua memberikan pemahaman bahwa tindakan-tindakannya tidak semestinya dilakukan, menumbuhkan sikap empati kepada orang lain, termasuk kepada binatang maupun mainan, ajarkan kecerdasan emosi sejak kecil. Ajarkan cara marah yang sehat, ketika anak mau memukul atau melakukan kekerasan fisik, cegah dengan memeganginya. “Ketika anak berontak, tetap pegangi sehingga dia lama-lama akan belajar untuk mengendalikan diri,” ujarnya. [FR-bbs]