Salma binti Khashafah, ia salah seorang wanita terhormat di masa tabi’in, Salma hidup di masa perluasan Islam yang pertama. Berbagai medan laga pernah ia ikuti, selain menolong para pejuang yang terluka, ia kerap memberikan ide cemerlang mengatur strategi perang melawan kaum musyrik.
Salma adalah istri seorang sahabat terkcnal al-Mutsanna bin Haritsah asy-Syaibani, salah satu panglima Muslim yang menaklukkan Persia. Di mana Al-Mutsanna memiliki andil besar dalam pcmbebasan salah satu imperium terbesar di masa itu. Ia juga sosok yang pernah mengajak Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq dan kaum muslimin untuk membuka Persia.
Sebelum al-Mutsanna syahid ketika perjalanan ke al-Qadisiyah, ia menitipkan Salma, dan memerintahkan pasukan kaum muslimin membawanya kepada Panglima Sa’ad bin Abi Waqqash. Setelah masa iddah Salma selesai, Sa’ad pun meminangnya lalu menikahinya.
Ketika dalam perjalanan menuju al-Qadisiyyah. Salma pun ikut dalam perang al-Qadisiyyah dan ikut andil dalam berbagai aksi militer lainnya. Namun perannya dalam perang al-Qadisiyyah sangat menonjol.
Sebelum perang al-Qadisiyyah dimulai, Sa’ad menderita penyakit bisul dan cacar di tubuhnya. Karena rasa sakitnya, ia tak dapat duduk. Pada hari pertama perang al-Qadisiyah, pasukan pun bergerak, namun Sa’ad tidak mampu mengikuti peperangan secara langsung, akibat penyakit yang is derita. Ia naik ke atas istana dengan menahan rasa sakit yang sangat sambil bertumpu pada dadanya, untuk mengamati dan memberikan instruksi serangan kepada pasukannya.
Salma yang melihat kcsakitan sang suami hingga Sa’ad tersungkur dan mengerang kesakitan di atas istana, ia memikirkan strategi serangan pasukan Persia. ketika sebagian pasukan berkuda mclarikan diri, Salma melihat apa yang dilakukan pasukan Persia. la pun berkata, “Wahai Mutsannaku, Mutsanna tak punya kuda hari ini’!”
la mengatakannya agar orang malu dengan dirinya sendiri. Sa’ad marah dengan sikap itu, seraya berkata, “Di manakah al-Mutsanna dalam pasukan dalam kancah pepcrangan?” Ia menjawab, “Apakah karena cemburu atau rasa takut!” Maksudnya Salma menyindir Sa’ad yang sedang duduk di istana ketika berperang.
“Sungguh, demi Allah, tak ada seorang pun yang memaklumi kondisiku saat ini seandainya engkau sendiri tidak memakluminya. Padahal, engkau tahu apa yang menimpaku. Orang lain lebih berhak untuk tidak memaklumiku!”
Ternyata pasukannya berharap pada Sa’ad dan mencelanya. Padahal, Sa’ad bukanlah sosok yang pengecut dan malu pada cacian. Tak lama kemudian, Salma pun meminta maaf atas ucapanya pada suaminya.
Banyak literatur sejarah menyebutkan langkah strategis yang ditempuh Salma dalam perang al-Qadisiyvah, menunjukkan firasat dan kecerdasannya di saat pasukan kaum muslimin tengah menghadapi kesulitan.
Sebuah kisah juga tentang Salma ketika Abu Mihjan ats-Tsagafi. Nama aslinya adalah Abdullah bin Habib, salah seorang penyair yang mcngalami masa jahiliyah dan Islam. Abu Mihjan adalah penyair pemberani dan mempunyai sikap tegas dan empati. Sayangnya, ia kecanduan minuman keras dan dihukum Iebih dari sekali. Umar bin Khaththab memerintahkan untuk mengasingkannya dan mengirimkannya kepada Sa’ad untuk memenjarakannya.
Ketika pertempuran berkecamuk dahsyat antara pasukan Islam dan pasukan Persia, denting pedang terdengar kc telinga Abu Mihjan. Maka ia pun ke atas istana dan meminta pada Sa’ad untuk memaafkannya dan melepaskannya dari penjara, agar ia bisa ikut serta dalam peperangan.
Dalam keadaan terbelenggu, ia lalu mendatangi istri Sa’ad, Salma dan berkata, “Wahai Salma! Wahai putri keluarga Khashafah! Apakah engkau ingin memperoleh kebaikan?”
la menjawab, “Apa gcrangan kebaikan itu wahai, Abu Mihjan?”
Abu Mihjan berkata, “Bebaskan diriku dan engkau pinjamkan `al-Balga’ (kuda milik Sa’ad). Saya berjanji, jika Allah menyelamatkanku, maka aku akan kembali padamu dan membelenggu kembali kakiku. Seandainya aku terbunuh, maka kalian tidak dibuat repot lagi olehku.”
Salma tertegun mendengar ucapan Mihjan. Ia berkata, “Apa kuasaku atas permintaanmu itu? Abu Mihjan kembali dengan belenggunya, sambil melantunkan syair dengan penuh kepasrahan dan penyesalan.
Salma mendengar rintih penyesalan Abu Mihjan. Ia melihat kesungguhan dengan firasat yang ia tangkap dari air mukanya. Salma melihat kejujuran. Ia lalu berkata kepadanya, “Wahal Abu Mihjan! Saya mengharapkan kebaikan pada Allah swt dan saya ridha pada janjimu.”
Salma lalu melepaskan belenggunya dan berkata kepadanya, “Ini yang dapat saya berikan untukmu. Adapun kuda, saya tidak dapat meminjamkannya.” la pun kembali ke tempat tinggalnya.
Namun Abu Mihjan tak peduli. la mendatangi al-Balga lalu menungganginya dari pintu istana menuju ke parit. Ia meraih tombak, lalu melesat hingga mendatangi kerumunan orang. Ketika berkaa di garda kanan, ia bertakbir dan menyerang ke rusuk kiri pertahanan musuh, dengan mernainkan tombak dan senjatanya di antara dua barisan. Setelah itu, ia kembali ke barisan belakang kaum muslimin, lalu menyerang ke rusuk kanan musuh dengan cara yang sama dengan sebelumnya. Serangannya berhasil merusak formasi di kedua rusuk pertahanan musuh.
Banyak orang berdecak kagum melihatnya. Namun, mereka belum mengetahui siapa gerangan dirinya, karena tidak melihatnya sejak siang. Di antara kaum muslimin ada yang berkata, “la adalah pasukan pertama Hasyim atau mungkin Hasyim sendiri.”
Sa’ad yang mengawasi pasukannya dari atas menyaksikan keberanian Abu Mihjan. Maka ia pun bergumam, “Sungguh, demi Allah, seandainya Abu Mihjan tidak dipenjara, saya akan katakan `Ini Abu Mihjan, dan ini al-Balga!”
Abu Mihjan terus bertempur. Kaum muslimin tidak mengira bahwa ia adalah Abu Mihjan. Selain karena sebab yang telah dijelaskan di atas, sepengetahuan mereka ia tengah dibelenggu dalam tahanan.
Ketika malam tiba, pasukan Persia menghentikan peperangan. Kaum muslimin pun kembali ke kampnya. Sedang, Abu Mihjan kembali ke dalam tahanan. Ia menambatkan al-Balga dan merebahkan dirinya, sesuai dengan janjinya pada Salma. Tak lupa, ia membelenggu kedua kakinya seperti semula. Ia melantunkan syair, semangatnya mengalir dari lisannya.
Salma mendengar senandung syair dari Abu Mihjan. Dalam hati, ia merasa senang karena telah membebaskannya. Abu Mihjan juga memenuhi janjinya. Salma lalu mendatanginya dan berkata, “Wahai Abu Mihjan! Kcsalahan apa yang engkau perbuat, sehingga engkau dipenjara?” la menjawab, “Sungguh, demi Allah, bukan karena suatu keharaman yang aku makan atau aku minum. Tapi dahulu saya seorang pemabuk berat di masa jahiliyah. Saya juga seorang penyair, di mana puisi mengalir di mulutku.
Keesokan harinya, Salma menemui Sa’ad dan memberitahukan perihal Abu Mihjan. Sa’ad memanggilnya, melepaskannya dan menyuruhnya bersumpah untuk tidak mendekati minuman keras. Abu Mihjan bertaubat kepada Allah swt dengan taubat nasuha.
Dalam pertaubatan Abu Mihjan, Salma berperan besar, selain perannya bersama kaum muslimin menghadapi peperangan itu. Akhirnya, Allah memenangkan mereka, menghancurkan musuh-musuh Islam.
Salma juga seorang wanita penyayang dan subur. Dalam kitab ath-Thabagat’ disebutkan bahwa ia melahirkan dari Sa’ad banyak putra-putri, diantaranya Umair kecil, Amr bin Sa’ad dan Imran bin Sa’ad.
Sementara anaknya yang perempuan adalah Ummu Amr, Ummu Ayyub dan Ummu Ishaq. Salma setia hidup bersama suaminya, hingga Sa’ad wafat pada tahun 55 H. [fathur-bbs]
Adapun Salma binti Khashafah, menemui ajalnya tiga tahun sebelum terbunuhnya dua anaknya atau lima tahun setelah meninggal sang suami. Tepatnya pada tahun 60 H.