Masjid Agung Tuban dibangun pada masa pemerintahan Adipati Raden Ario Tedjo atau dikenal dengan Syaikh Abdurrahman, Bupati Tuban ke-7 dan menjadi bupati pertama yang memeluk Islam di Tuban.
Terik sinar matahari tidak menyurutkan langkah para jamaah untuk melaksanakan shalat di Masjid Agung Tuban. Mereka kebanyakan bukan warga sekitar masjid, melainkan para rombongan jamaah ziarah atau wisatawan dari berbagai daerah yang sengaja datang ke Masjid Agung Tuban.
Berbagai macam mobil pun memenuhi parkiran masjid yang terletak di sebelah barat alun-alun Kota Tuban ini. Mulai mobil bus, mini bus, elf dan mobil-mobil pribadi seperti kijang, sedan serta puluhan kendaraan bermotor. Di sepanjang trotoar juga berderet penjual makanan dan minuman serta aneka pakaian Muslim dan pakaian batik khas Tuban (batik gedog).
Wajah-wajah kagum para jamaah terlihat manakala turun dari mobil dan menatap kemegahan masjid yang memiliki enam menara dan lima kubah berwarna biru itu. Cukungan-cekungan mimbar yang berbaris di pintu masuk masjid seolah menyapa kedatangan para jamaah.
Bangunan bercorak biru dan merah muda ini dipenuhi motif ukir-ukiran serta kaligrafi. Aristektur masjid ini memadukan ragam budaya dari berbagai negara seperti Arab, Eropa, dan India. Pantas jika kemegahan Masjid Agung Tuban ini sering disebut sebagai panorama negeri 1001 malam.
Sejarah Masjid Tuban
Sejarah pendirian masjid ini tidak bisa diketahui dengan jelas. Menurut beberapa sumber, masjid ini didirikan pada abad ke-15 masehi, yakni pada masa pemerintahan Adipati Raden Ario Tedjo atau dikenal denga Syaikh Abdurrahman, Bupati Tuban ke-7 dan menjadi bupati pertama yang memeluk Islam di Tuban.
Ario Tedjo hidup pada awal permulaan pemerintahan Islam di Jawa pada abad ke-15 dan wafat pada tahun 1460 M. Keinginannya untuk membangun Masjid Agung Tuban di samping kantor pemerintah Tuban sebagai sarana ibadah dan pusat dakwah bagi masyarakat Tuban dan sekitarnya.
Namun sumber lain menyebutkan bahwa keberadaan Masjid Agung Tuban tidak terlepas dari peran Sunan Bonang yang pernah berdakwa
h di Tuban. Semasa hidupnya, Sunan Bonang mendirikan sebuah masjid sebagai pusat kegiatan dakwah dan mengajarkan ilmu pengetahuan agama bagi masyarakat sekitar.
Masjid pertama yang dibangun Sunan Bonang bernama Masjid Astana, yang kini menjadi bagian dari bangunan kompleks makam Sunan Bonang. Dalam perkembangan selanjutnya, bangunan masjid ini diperluas menjadi bangunan masjid yang dikenal sebagai Masjid Agung Tuban saat ini.
Sunan Bonang lahir pada tahun 1465 M setelah Syaikh Abdurrahman wafat tahun 1460 M. Dengan demikian, masjid ini dibangun oleh Adipati Raden Ario Tedjo (Syaikh Abdurrahman) dan selanjutnya diteruskan oleh Sunan Bonang yang merupakan anak dari Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila yang diutus berdakwah ke Tuban.
Terlepas dari semua itu, dari tahun ke tahun masjid yang dahulu bernama Masjid Jami ini mengalami beberapa kali renovasi. Diantaranya renovasi pertama dilakukan pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Koesoemodiko pada tahun 1894, Bupati Tuban ke-35 yang saat itu mendatangkan arsitek berkebangsaan Belanda bernama BOHM Toxopeus.
Pada tahun 2004, renovasi masji
d kembali dilakukan oleh pemerintah Tuban dengan pembangunan besar-besaran. Kali ini renovasi meliputi pengembangan satu lantai menjadi tiga lantai, menambah sayap kiri dan kanannya, menambah enam menara masjid dengan luas 3.565 meter persegi, serta penambahan taman dan bangunan air mancur.
Gaya bangunan Masjid Agung Tuban kali ini mengadopsi arsitektur bangunan masjid-masjid terkenal di dunia termasuk masjid di Eropa, Timur Tengah dan India. Meskipun saat ini bangunannya menggunakan gaya modern, bangunan masjid yang asli masih tersisa di bagian dalam dan di bagian tengah.
Pusat Syiar Islam
Dalam catatan sejarah dijelaskan, selain sebagai sarana ibadah, Masjid Agung Tuban juga digunakan sebagai sarana penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Kabupaten Tuban yang saat itu masuk dalam wilayah pemerintahan Majapahit merupakan kabupaten pertama yang bupatinya memeluk Islam.
Posisi Tuban yang berada di pesisir pantai utara menjadi daerah strategis bagi saudagar Islam dan saudagar dari negeri lain untuk berlabuh di Tuban. Sedikit sejarah ini kemudian melatarbelakangi ditemukannya beberapa benda peninggalan sejarah di sekitar masjid dan kompleks makam Sunan Bonang. Di antaranya al-Qur’an kuno dari kulit, keramik Cina, Pusaka, Sarkofagus, dan beberapa benda peninggalan sejarah lainnya yang kini disimpan di museum Kembang Putih pemerintah Tuban sebagai benda-benda peninggalan sejarah yang bernilai tinggi.
Sebagai pusat sejarah dan kebudayaan di kota Tuban, Masjid Agung Tuban tidak pernah sepi oleh aneka macam kegiatan harian, mingguan dan bulanan. Setiap hari, masjid yang menjadi tempat kunjungan pertama bagi jamaah ziarah Sunan Bonang ini menggelar shalat fardlu berjamaah yang dipimpin imam rawatib.
Jum’at sore pada hari Jum’at Kliwon, kegiatan masjid diisi pengajian majelis taklim ibu-ibu dari sekitar masjid. Sedangkan pengajian bapak-bapak diadakan setiap Ahad malam berupa pengajian kitab dan shalawat rebana yang menampilkan kelompok rebana dari beberapa tempat.
Masjid Agung Tuban juga memiliki ruang perpustakaan yang berada di ruang bawah dengan berbagai macam koleksi buku-buku Islam dan pegetahuan umum. Selain perpustakaan, di ruang bawah juga terdapat Taman Pendidikan al-Qur’an (TPA) untuk kegiatan belajar anak-anak sekitar masjid setiap hari Senin sampai Jum’at.
Pada bulan puasa, Masjid Agung Tuban juga tidak pernah sepi dari kegiatan, di antaranya tadarus al-Qur’an, kuliah Shubuh dan buka puasa bersama. Sedangkan pada hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, jamaah memenuhi ruang masjid hingga ke pelataran untuk mengikuti ibadah shalat ‘Id dan menyimak khutbah dari tokoh agama dan tokoh nasional.
Meurut H Ahmad Mawardi, Pegurus TPA Masjid Agung Tuban, pendidikan madrasah non formal yang dikembangkan masjid ini cukup berkembang pesat. Pasalnya, selain memiliki jumlah siswa yang banyak, berbagai prestasi telah diraih siswa-siswi TPA binaannya, di antaranya juara III Nasyid Tingkat Provinsi (2008), Juara I Mewarnai Tingkat Jawa Timur (2008), Juara III Puitisasi Tingkat Jawa Timur (2008).
Selain itu, masjid ini juga menjadi salah satu masjid percontohan masjid-masjid di wilayah Jawa Timur. Banyak penceramah yang hadir mengisi acara disini di antaranya Dr Muhammad Thahir, Direktur RS Surabaya, Prof Dr KH Saiful Hadi Permana, Guru Besar IAIN Surabaya, serta beberapa kiai kharismatik seperti KH Maimun Zubair, KH Abdullah Faqih, dan tokoh-tokoh nasional di wilayah Jawa.
Jejak Kota Wali
Menurut Mawardi, Kota Tuban yang terletak di pinggir pantai laut utara ini juga dikenal sebagai kota wali. Tuban dikenal sebagai kota seribu wali karena banyak wali dan peninggalan wali-wali di Tuban. Bahkan menurut catatan sejarah, di Tuban terdapat 360 wali termasuk dalam wali sanga.
Selain Sunan Bonang (Tuban) ada juga makam kakeknya, Syaikh Maulana Ibrahim Asmaraqandi yang lokasinya tidak jauh dari alun-alun Tuban. Dari makam Sunan Bonang, berjalan ke arah timur beberapa kilo meter akan terlihat gapura yang menunjukkan makam tersebut.
Sementara itu di daerah Lirip, Jatirogo, Tuban, juga terdapat makam seorang wali yang dikenal dengan nama Sunan Bejagung (Mbah Jabbar). Lokasi makamnya berada di puncak pegunungan yang terdapat sumber mata air serta air terjunnya.
Sementara itu, tak jauh dari Masjid Agung Tuban juga terdapat goa paling terkenal di kota Tuban yang saat ini menjadi objek wisata terfavorit bagi masyarakat Jawa Timur dan sekitarnya. Tempat itu bernama Goa Akbar. Konon menurut cerita, goa akbar adalah tempat yang digunakan Sunan Bonang untuk mendidik Sunan Kalijaga belajar tentang Islam. [FR-AM]