SUARA MASJID–Ketika Belanda ingin melancarkan agresinya yang kedua tahun 1949, maka ratusan ulama di Lampung pun merapatkan barisan menghimpun kekuatan. Mereka berkumpul di sebuah pesantren KH. Gholib untuk membahas hukum perang pelawan Belanda.
Di antara ulama yang berkumpul adalah: KH. Hanafiah dari Sukadana, KH. Nawawi Umar dari Telukbetung, KH. Abdul Rozak Rais dari Penengahan, Kedondong; KH. Umar Murod dari Pagardewa (kini Kabupaten Tulangbawang Barat), KH. Aman dari Tanjungkarang; Kiai M. Yasin dari Tanjungkarang (Ketua Masyumi Lampung saat itu), KH. A. Rauf Ali dari Telukbetung dan KH A. Razak Arsad dari Lampung Utara. Hasil dari musyawarah menetapkan hukum perang melawan Belanda mempertahankan kemerdekaan dan ketinggian Islam adalah fardu ‘ain.
Setelah fatwa keluar, Hanafiah dan pasukan Laskar Hizbulllah dan Sabilillah Pringsewu menuju Baturaja, Sumatera Selatan, untuk membantu Tentara Republik Indonesia (TRI) melawan Belanda, setelah Palembang diduduki.
Kiai Gholib ketika penjajahan Jepang juga banyak menentang program Jepang seperti sei kerie tahun 1942. Tindakan Jepang sudah menindas, menyiksa dan memeras. Dia segera menyiagakan pasukan mengusir Jepang dari Tanah Bamboo Seribu (sekarang Pringsewu).
Tak heran jika kiprahnya berjibaku mengusir penjajah ini, kerap dibalas dengan masuk penjara oleh militer penjajah. Apalagi Gholib menggalang opini menolak ajakan Jepang menyembah Dewa Matahari (Tenno Heika, Kaisar Hirohito).
Sosok yang lahir tahun 1899 di Kampung Modjosantren, Krian, Jawa Timur ini dengan semangat jihad terus memimpin pertempuran untuk mengusir penjajah. Dia membentuk pasukan jihad: Pasukan Sabillah Hisbullah yang diambil dari anak-anak didiknya lalu dididik TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan BKR (Badan Keamanan Rakyat).
Sewaktu Agresi Belanda II 1949, Lampung menjadi daerah target Belanda. Melalui Pelabuhan Panjang pada 1 Januari. Pemerintah bersama TRI (Tentara Republik Indonesia) mengungsi ke pedalaman Gedongtataan, Gadingrejo, Pringsewu, Kedondong, dan tempat-tempat lain.
Di Gadingrejo dibentuk pemerintahan darurat dengan residennya Mr. Gele Harun dan wakilnya M. Yasin. Di Pringsewu, basis TRI ditempatkan di pesantren Kiai Gholib dengan tokoh-tokohnya: Kapten Alamsyah dan Mayor Effendy. Untuk mengganyang Belanda, melalui musyawarah para tokoh, Kiai Gholib ditetapkan sebagai pemimpin pasukan gerilya.
Pada 8 Agustus 1947 hingga 20 Oktober 1948, menjadi hari penuh peperangan. Pasukan Sabillah dan Laskar Hisbullah yang dipimpin Kiai Gholib dan Kapten Alamsyah Ratuperwiranegara bertarung dengan penuh berani.
Ulama yang hapal ribuan hadis ini tidak hanya mempelajari ilmu yang berhubungan dengan ubudiyah, tetapi juga ilmu perang, kemasyarakatan, dan lainnya. Wajar jika kemudian ia mampu menyebarkan Islam di 27 kota dan desa-desa di Jawa Timur hingga Johor dan Singapura; terakhir di Pringsewu, Lampung.
Tatkala awal sampai di Pringsewu, Sang Kyai mendirikan masjid untuk mengajarkan agama Islam kepada orang-orang tua dan anak-anak sekitar. Melihat perkembangan majelis taklimnya yang cukup pesat, Kiai Gholib terus mengembangkan pendidikan agama Islam dengan mendirikan pondok pesantren. Pendidikan yang dibentuk pertama adalah sebuah madrasah dengan santri awal sebanyak 20 orang. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, perkembangan santri sangat pesat.
Kiai Gholib hidupnya sering mengungsi dan hidup berpindah-pindah. Di sebuah desa, dia sakit, lumpuh, lalu bersiap pulang. Kabar sakitnya Kiai Gholib terdengar Belanda. Saat perundingan Belanda-TNI 27 November 1949 di Kotabumi, Belanda memerintahkan polisi federalnya memanggil Kiai Gholib untuk perundingan. Namun, Macan Loreng, pasukan khusus kaki tangan penjajah saat itu, berkeras agar Kiai Gholib ditahan.
Selama di pengungsian Kiai Gholib sekeluarga cemas memikirkan nasib warganya di Pringsewu. Ia pun pulang dan berniat salat Idul Fitri. Beberapa hari kemudian datang utusan Belanda, ia disergap Macan Loreng, kemudian dibawa ke Gereja Katholik Pringsewu, markas tentara Belanda.
Kiai Gholib ditahan 15 hari dan dibebaskan saat persetujuan gencatan senjata tinggal tiga hari diumumkan, malam Kamis, 6 November 1949 (16 Syawal 1968 H). Pukul satu dini hari KH Gholib meninggalkan penjara, lalu berjalan pulang. Namun, baru 10 meter dia melangkah dari rumah tahanan, Kiai Gholib ditembak dari belakang. Dia gugur seketika.
Senang Bangun Masjid dan Pesantren
Sejak usia anak-anak, Kiai Gholib memang sudah menunjukkan tanda-tanda akan menjadi seorang ulama besar penyebar Islam. Saat berusia 6 tahun dia diserahkan ibunya, Muksiti, kepada kiai di Mojosantren untuk belajar Al-Qur’an, ilmu fikih, tauhid, akhlak dan sebagainya.
Guru pertamanya adalah Kiai Ali Mojosantren yang masyhur di kampungnya. Setelah itu, dia belajar dengan beberapa alim ulama di seluruh Jawa Timur, antara lain KH. Hasyim Asyari di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, dan KH. Khalil di Bangkalan, Madura.
Kiai Gholib sosok yang cerdas, dalam waktu singkat ia sudah hafal ribuan hadis Nabi saw. Kepada para gurunya, dia tidak hanya mempelajari ilmu yang berhubungan dengan ubudiyah, tetapi juga ilmu hikmah. Sewaktu-waktu ilmu hikmahnya diperlihatkan untuk menarik perhatian masyarakat saat menyebarkan Islam di 27 kota dan desa, mulai dari desa-desa di Jawa Timur hingga Johor dan Singapura, terakhir di Pringsewu.
Kiai Gholib gemar membangun masjid dan pesantren di tempat yang ia singgahi. Saat pesantren telah maju dan syiar Islam semarak, dia hibahkan ke masyarakat setempat dan pergi ke tempat lain untuk melakukan hal yang sama. [FR-bbs]