Sebagian Muslim mengira bahwa tasbih simbol orisinil Islam. Padahal, tasbih merupakan simbol banyak agama yang digunakan saat beribadah.
Asal kata tasbih dalam bahasa Arab adalah sabbaha, jika ditashrîfkan menjadi yusabbihu, tasbîhan, yang berarti membaca subhânallâh (Maha Suci Allah). Sehingga kata ”tasbih” bukanlah nama benda, tetapi kegiatan membaca berupa puji-pujian.
Sebenarnya, benda yang digunakan untuk membaca tasbih itu bernama subhah, atau misbahah. Tapi dalam perkembangannya, masyarakat terbiasa menyebut dengan menyamakan jenis pekerjaannya (tasbih). Akhirnya, alat penghitung bacaan zikir ini pun lazim disebut dengan tasbih.
Umumnya, tasbih terbuat dari manik-manik, atau ada juga yang terbuat dari kayu huka, stigi, pospor, hingga kayu cendana. Bahkan ada tasbih yang terbuat dari batu jade, kristal, permata, hingga giok.
Dalam beberapa kitab, seperti Dâ`irat al-Ma’ârif al-Islâmiyyah (11/233-234), al-Mausû’at al-Arabiyyât Fatâwâ Rasyîd Ridhâ (3/435-436), dan penjelasan Syaikh Bakr ibn Abdillah Abu Zaid, bahwa tasbih telah dikenal sebelum Islam ada.
Tahun 800 M orang-orang Budha telah menggunakan tasbih dalam ritualnya. Begitu pula kalangan Brahmin di India, pendeta Kristen, dan rahib Yahudi juga menggunakan alat sejenis tasbih. Dari India inilah kemudian alat itu berkembang ke benua Asia.
Orang-orang Budha diyakini sebagai yang pertama menggunakan biji-bijian (tasbih) untuk menyelaraskan antara perbuatan dan ucapannya ketika melakukan sembahyang. Begitu juga dilakukan oleh penganut Hindu di India, dan dipraktekkan orang-orang Kristen pada abad pertengahan.
Pesatnya perkembangan tasbih, terjadi pada abad 15 dan 16 M. Dalam kitab Musâhamah al-Hindi disebutkan, orang-orang Hindu terbiasa menggunakan tasbih untuk menghitung ritualnya. Sehingga menghitung dzikir dengan biji tasbih, diakui sebagai inovasi dari orang Hindu India sekte Brahma. Tradisi ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Sementara itu, para ahli sejarah sepakat bahwa orang-orang Arab Jahiliah tidak mengenal istilah dan penggunaan tasbih dalam peribadatan mereka. Itulah sebabnya, tak satupun syair jahiliah menyebutkan kalimat tasbih. Kata tersebut merupakan istilah mu’arrabah (yang diarabkan).
Begitu juga pada masa Rasulullah dan Sahabat, yang tidak mengenal istilah tasbih, apalagi menggunakannya. Kondisi ini berlangsung hingga akhir masa tabi’in. Jika mendapatkan hadis yang memuat lafadh subhah, jangan sekali-kali membayangkan bahwa makna lafadz tersebut adalah alat tasbih seperti yang dipergunakan orang sekarang. Karena Rasulullah berbicara dengan Sahabat dan umatnya dengan bahasa yang mereka pahami dan ketahui. Sedangkan kata tasbih, seperti yang saat ini beredar, tidak dikenal oleh Sahabat maupun Tabi’in.
Cikal bakal tradisi tasbih, tumbuh dan berkembang dari kebiasaan dzikir dengan jumlah tertentu. Tradisi ini kemudian memunculkan penggunaan alat bantu untuk memudahkan penghitungan ketika berdzikir.
Digunakan banyak agama
Tak hanya Islam, penganut agama di dunia juga menggunakan tasbih untuk melakukan ritual doa. Seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha hingga Yahudi. Umat Kristiani dan Katolik menyebutnya rosario. Sedangkan bagi kaum Hindu dan Budha disebut Mala atau Ganitri.
Dalam sejarah ajaran Kristen, rahib-rahib juga berdzikir sebanyak 150 kali sehari. Untuk memudahkan, mereka menggunakan 150 simpul atau manik. Terkadang rahib-rahib itu mengenakannya di leher ketika dibawa pergi. Manik-manik itu disebut rosary. Di Eropa, manik-manik ini digunakan untuk mengikat bunga mawar.
Orang Katolik menggunakan 50 biji tasbih kecil yang dibagi menjadi empat, dan diberi pemisah dengan biji tasbih besar dengan jumlah yang sama. Juga dijadikan sebagai kalung yang terdiri dari dua biji besar dan tiga biji kecil, kemudian “matanya” dibuat dengan tanda salib. Mereka membaca puji Tuhan dengan biji tasbih yang besar, dan membaca pujian Maryamiyyah dengan biji tasbih kecil.
Dalam ajaran Hindu, dapat ditemukan dalam kitab Kalika Purana dan Sanatkumara Samitha keterangan tentang tasbih. Walau dengan nama berbeda, yaitu japamala. Benda ini juga digunakan untuk menghitung saat berdzikir atau membaca mantra.
Ajaran Budha juga mengenal tasbih. Seperti tradisi tasbih yang digunakan di Tibet yang mayoritas penduduknya menganut Budha. Orang-orang Budha Tibet biasanya bersembahyang di Istana Potala, pusat kota Lhasa, ibukota Tibet. Mereka berbondong-bondong mengelilingi Istana Potala searah jarum jam, sambil memutar-mutar zhuanjingtong (tasbih) untuk membaca nama Budha dan mantra.
Sedangkan umat Islam biasanya menggunakan manik-manik tasbih berjumlah 100 biji. Jumlah tersebut dikaitkan dengan sebuah hadis Shahîh yang menyunahkan agar umat Islam membaca tasbîh (lafadz subhanallah) 33 kali, tahmîd (lafadz alhamdulillah) 33 kali, dan takbîr (lafadz Allahu Akbar) 33 kali. Kemudian satu kali untuk doa penutup.
Jumlah 100 biji juga diasosiasikan dengan banyaknya nama-nama indah Allah asmâ`ul husna yang berjumlah 99, ditambah satu lafdzul jalâlah (Allah). Meski demikian, tidak semua tasbih berjumlah 100 biji, ada pula yang hanya 33 biji. Bahkan di Arab Saudi ada beberapa toko yang menjual tasbih panjang yang berjumlah 1000 biji. [fathur]