Suatu hari, di sebuah masjid yang sepi terlihat salah seorang sahabat dari kalangan Anshar sedang sendiri dalam renungan panjang. Wajahnya nampak menyimpan kegalauan karena masalah membelitnya. Dialah Abu Umamah menyendiri di rumah Allah mengharap kemudahan atas persoalan yang dialaminya.
Keheningan masjid terpecah dengan kehadiran Rasulullah SAW dari bilik masjid. Rasulullah mendekati Abu Umamah. Saat itulah, Nabi bertanya kepada Abu Umamah. “Wahai Abu Umamah, mengapa kamu berada di dalam masjid sendirian di waktu seperti ini?”
Sembari mengulas senyum, Abu Umamah menjawab, “Wahai Rasulullah, saya merasa galau karena sedang diimpit utang.”
Mendengar jawaban berisi masalah yang menimpa sahabatnya ini, akhirnya Rasulullah memberikan penawar kegalauan sebagai jalan keluar. Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Umamah, maukah engkau aku ajarkan suatu amalan (doa), yang apabila engkau terus membacanya di waktu pagi dan petang Allah akan menghilangkan darimu rasa galau itu, dan Ia akan memudahkan engkau melunasi utangmu?.”
Abu Umamah menjawab, “Mau ya Rasulullah,” dengan wajah semringah gembira. Lalu Rasulullah melanjutkan, “Bacalah di waktu pagi dan petang, ‘Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari rasa galau dan sedih, dan aku berlindung kepada-Mu dari rasa lemah dan malas, dan aku berlindung kepada-Mu dari rasa pengecut dan bakhil, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan tekanan orang lain.”
Dari catatan yang dihimpun oleh Abu Daud dan al-Baihaqi, bahwa setelah Abu Umamah rutin memanjatkan doa ini kepada Allah di pagi dan petang harinya, ia bisa melunasi utangnya. “Setelah aku merutinkan amalan yang diajarkan Rasulullah itu, Allah menghapus dari diriku rasa galau yang menimpaku dan Allah memudahkan bagiku untuk melunasi utang yang melilitku.”
Dalam cerita lain, Abu Umamah yang memiliki nama asli Shudai bin Ajlan, dari suku Bahilah. Termasuk sahabat yang banyak memiliki riwayat dari Nabi Muhammad. Ia wafat pada tahun 81 atau 86 H.
Abu Umamah bahkan didelegasikan untuk berdakwah pada kaumnya sendiri. Imam Ath-Thabrani meriwayatkan misi dakwah Abu Umamah di kampung halamannya, suku Bahilah. Ia menuturkan,
Rasulullah mengutusku (untuk berdakwah) kepada kaumku, suku Bahilah. Sesampai di sana aku dalam keadaan lapar. Saat itu, mereka sedang menyantap makanan. Namun mereka menyatap makanan yang terbuat dari darah. Mereka menghormati diriku dengan menyambut kedatanganku;
“Selamat datang wahai Shudai bin Ajlan. Kami dengar engkau telah keluar dari agama nenek moyang untuk mengikuti laki-laki itu (Muhammad)?”
Abu Umamah menimpali, “Bukan seperti itu. Aku hanya beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Ia pula mengutusku untuk menawarkan Islam dan syariat kepada kalian.” Celakanya, mereka malah menawarkan makanan darah kepada Abu Umamah, namun ia menolak.
Mulailah Abu Umamah mendakwahi mereka untuk memeluk Islam. Namun, mereka mendustakan dan membentaknya. “Bisa saya minta sedikit air, aku haus sekali,” pinta Abu Umamah karena dilanda kehausan. Mereka menolaknya dan mengatakan, “Tidak, kami akan membiarkan engkau mati kehausan!” sergah mereka.
Akhirnya Abu Umamah pergi dan beristirahat dalam terik panas gurun pasir. Dalam tidurnya, ia bermimpi disodori minuman dari susu, tidak pernah ada susu yang lebih lezat darinya. Ia meminumnya sampai kenyang sehingga perutnya tampak penuh.
Setelah perlakuan kasar yang ditujukan kepada Abu Umamah, kepala suku meminta mencari Abu Umamah karena menyesal. Lalu mereka mendatangi Abu Umamah dengan membawa makanan dan minuman. “Aku sudah tidak butuh lagi makanan dan minuman dari kalian. Allah ‘telah memberi makan dan minuman kepadaku. Lihatlah kondisiku sekarang.”
Abu Umamah memperlihatkan perutnya yang penuh. Mereka melihatnya dan akhirnya beriman kepada apa yang Abu Umamah dakwahkan dari sunah Rasul. Semuanya pun beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Akhirnya Abu Umamah berhasil mengajak kaumnya untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.